GADAI
OLEH :
RIA SAIDAH
05120130003
PRODI HUKUM
KELUARGA
JURUSAN
SYARIAH
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2014
Kata pangantar
Bismillaahirrohmanirroiim
Segala
puji bagi Allah SWT, Tuhan Semesta Alam yang telah mengajarkan manusia tentang
apa yang tidak diketahuinya. Salawat dan Salam kepada junjungan Rasulullah
Muhammad SAW sebagai teladan dalam kehidupan sekaligus sebagai rahmatan
lil’alamin.
Kehadiran
sebuah makalah sebagai pegangam bagi mahasiswa sangatlah berarti dalam proses
belajar mengajar, karena itu melalui makalah tentang Pinjaman dan Jaminan ini diharapkan dapat mengantar dan membantu
mahasiswa di Jurusan Syariah Prodi Hukum
Keluarga Universitas Muslim Indonesia dalam pencapaian kurikulum yang
diinginkan.
Dalam
penyusunan isi makalah ini dirasakan masih jauh dari sempurna, karena itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Akhir
kata saya sangat berharap buku ini kiranya dapat menjadi bahan untuk saling
mengisi bagi para mahasiswa.
Makassar, 24 oktober 2014
Ria saidah
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar………………………………………………………………..
Daftar isi ..……………………………………………………………………
I
Pendahuluan
A. Latar Belakang………………………………………………………..
B. Rumusan Masalah ..………………………………………………….
C. Tujuan………………………………………………………….. ……
II
Pembahasan
A. Pengertian Rahn…..…………………………………………………….
B. Sifat Rahn………………………………….
…………….......................
C. Dasar
Hukum Rahn…………………………………………………..…
D. Rukun dan Syarat Gadai
………………….…………………………….
E. Pengambilan Manfaat Barang Gadai…………………………………...
F. Pandangan Ulama Mengenai RukunGadai………………......................
G. Perbedaan dan Persamaan Gadai Syariah
dan Gadai Konvensional……
H. Perlakuan Bunga dan Riba dalam
Perjanjian Gadai………………….
III
Penutup
A. Kesimpulan..............................................................................................
Daftar
Pustaka.………………………………………………………………….......
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan
transaksi, ada bermacam-macam cara untuk mencari uang dan salah satunya dengan
cara gadai / rahn(الرهن). Para ulama’ berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak
termasuk riba apabila memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali
orang yang melalaikan masalah tersebut, sehingga tidak sedikit dari mereka yang
melakukan gadai asal-asalan tanpa mengetahui hukum dasar gadai tersebut. Dalam
syari’at bermuamalah, seseorang tidaklah selamanya mampu melaksanakan syari’at
tersebut secara tunai dan lancar sesuai dengan syari’at yang ditentukan. Ada
kalanya suatu misal ketika sedang dalam perjalanan jauh seseorang kehabisan
bekal, sedangkan orang tersebut tidaklah mungkin kembali ke tempat tinggalnya
untuk mengambil perbekalan demi perjalanan selanjutnya.
Dalam kehidupan bisnis baik Klasik dan Modern, masalah penggadaian tidak terlepas dari masalah perekonomian. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai pnggadaian dijelaskan sebagai berikut .Selain daripada itu, keinginan manusia untuk memnuhi kebutuhannya, cenderung membuat mereka untuk saling bertransaksi walaupun dengan berbagai kendala, misalnya saja kekurangan modal, tenaga dsb. maka dari itu, dalam islam diberlakukan syari’at gadai.
Dalam kehidupan bisnis baik Klasik dan Modern, masalah penggadaian tidak terlepas dari masalah perekonomian. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai pnggadaian dijelaskan sebagai berikut .Selain daripada itu, keinginan manusia untuk memnuhi kebutuhannya, cenderung membuat mereka untuk saling bertransaksi walaupun dengan berbagai kendala, misalnya saja kekurangan modal, tenaga dsb. maka dari itu, dalam islam diberlakukan syari’at gadai.
Gadai
secara umum berupa transaksi peminjaman sejumlah uang dengan memberikan jaminan
berupa perhiasan (emas, perak platina), barang elektronik (TV, kulkas, radio,
tape, video), kendaraan (sepeda, motor, mobil), barang-barang pecah belah,
mesin jahit, mesin motor kapal, tekstil (kain batik, permadani) dan barang
lainnya yang dianggap bernilai. Adapun pengertian hukum dan syaratnya akan
dibahas dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Hakekat / pengertian rahn ?
2.
Bagaimana sifat rahn ?
3.
Apa yang mendasari diadakannya rahn ?
4.
Apa rukun dan syarat rahn?
5.
Bagaimana cara mengambil manfaat rahn ?
6.
Bagaimana pandangan Ulama tentang
rahn?
7.
Apa perbedaan dan persamaan antara
gadai syariah dengan gadai konvensional?
C.
Tujuan
Makalah
1.
Untuk mengetahui hakekat dari rahn
2.
Untuk mengetahui sifat rahn
3.
Untuk mengetahui dasar hukum rahn
4.
Untuk mengetahui rukun dan syarat
rahn
5.
Untuk mengetahui cara pengambilan
manfaat dari rahn
6.
Untuk mengetahui pandangan-pandangan
ulama terhadap rahn
7.
Untuk mengetahui persamaan dan
perbedaan gadai syariah dan gadai konvensional
II. PEMBAHASAN
A.
Pengertian Rahn
Menurut bahasa, gadai/ ar-rahn (الرهن) berarti al-stubut dan al-habs yaitu penetapan
dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn (الرهن) adalah terkurung
atau terjerat.[1]
Menurut
istilah syara’, yang dimaksut dengan rahn adalah:
1.
Akad yang objeknya menahan harga
terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh
bayaran dengan sempurna darinya.[2]
2.
Menjadikan suatu benda berharga dalam
pandangan syara’ sebagai jaminan hutang selama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu
atau mengambil sebagian benda itu.[3]
3.
Gadai adalah suatu barang yang
dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam hutang-piutang.[4]
4.
Gadai ialah menjadikan suatu benda
bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu
seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.[5]
Ulama fiqih
berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn :
- Menurut ulama Syafi’iyah:
Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan pembayar ketika
berhalangan dalam membayar hutang.
- Menurut
ulama Hanabilah :
Harta yang dijadikan jaminan hutang sebagai pembayar harga (nilai) hutang ketika yang berutang berhalangan
(tidak mampu membayar) hutangnya kepada pemberi pinjaman.[6]
B.
Sifat Rahn
Secara umum rahn
dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan
penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan
sesuatu. Yang diberikan murathin kepada rahn adalah uang. Bukan penukar atas
barang yang digadaikan.
Rahn juga termasuk akad yang bersifat
‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah menyerahkan benda yang
dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan qirad.[7]
C.
Dasar Hukum Rahn
Sebagai referensi atau landasan hukum
pinjam-meminjam dengan jaminan (brog)
adalah firman Allah Swt.
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ
تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا
فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَه وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ ۗ وَلَا
تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ ۗ
وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ ُ
Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermuamalah secara tidak tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang ( oleh berpiutang). Akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa
kepada Allah Tuhannya ( Al-Baqarah 283).
Syaikh Muhammad Ali as-sayis
berpendapat, bahwa ayat Al-Qur’an tersebut adalah petunjuk untuk menerapkan
prinsip kehati-hatian bila seseorang hendak melakukan transaksi utang-piutang
yang memakai jangka waktu dengan orang lain, dengan cara menjaminkan sebuah
barang kepada orang yang berpiutang rahn (الرهن).
Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari,
Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a berkata:
عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – قال :
لَقَدْ رَهَنَ النَّبِىُّ – صل الله عليه وسلم – دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ
عِنْدَ يَهُودِىٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا ، ى
“ Rasullah Saw, telah meruguhkan baju besi
beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaktu beliau menghutang syair
(gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga itu untuk keluarga beliau”. (HR.
Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).
Dari hadist tersebut dapat dipahami
bahwa bermualah dibenarkan juga dengan non-muslim dan harus ada jaminan sebagai
pegangan, sehingga tidak ada ke khawatiran bagi yang memberi piutang.
Para ulama’ semua berpendapat, bahwa
perjanjian gadai hukumnya mubah (boleh). Dan itu termuat dalam DNS Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002, Namun ada yag berpegang pada zahir ayat,
yaitu gadai hanya diperbolehkan dalam keadaan berpergian saja, seperti paham
yang di anut oleh Madhab Zahiri, Mujahid dan al-Dhahak. Sedangkan jumhur
(kebanyakan ulama) membolehkan gadai, baik dalam keadaan berpergian maupun
tidak, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti telah
disebutkan dalam hadist di atas. [8]
D.
Rukun dan
Syarat Gadai
Gadai atau
pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun, antara lain yaitu:
1. Akad dan ijab
Kabul
2. Aqid, yaitu
orang yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun
syarat yang berakad adalah ahli tasyarruf, yaitu mampu membelanjakan harta dan
dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai. Menurut
ulama Syafi’iyah ahliyah adalah orang
yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dam mumyyis, tetapi tidak
disyaratkan harus baligh.[9]
3. Barang yang
dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda uyang dijadikan jaminan ialah keadaan
barang itu tiddak rusak sebelum janji utang harus dibayar. Rosul bersabda:
“Setiap barang yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan barang gadai”
4. Ada hutang, disyaratkan keadaan hutang telah tetap.
Menurut ulam Hanafiyah mensyaratkan
marhun, antara lain:[10]
a) Dapat diperjual belikan
b) Bermanfaat
c) Jelas
d) Milik rahin
e) Bisa diserahkan
f) Tidak bersatu
dengan harta lain
g) Dipegang oleh
rahin
h) Harta yang
tetap atau dapat dipindahkan.
Menurut Sayyid
Sabiq bahwa gadai itu baru dianggap sah apabila memenuhi empat syarat, yaitu:
1) Orangnya sudah
dewasa.
2) Berpikiran
sehat.
3) Barang yang
akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad gadai dan barang gadaian
itu dapat diserahkan/diserahkan kepada
penggadai.
4) Barang atau
benda yang dapat dijadikan jaminan itu dapat berupa emas, berlian dan benda
bergerak lainnya dan dapat pula surat-surat berharga ( surat tanah atau surat
rumah).[11]
E.
Pengambilan
Manfaat Barang Gadai
Dalam
pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan para ulama’ berbeda pendapat,
diantara jumhur fuqaha dan ahmad.
Jumhur fuqoha
berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang
gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk
kepada utang yang terdapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk
riba.
Rasul bersbada:
“Setiap orang
yang menarik manfaat adalah termasuk riba” ( riwayat Harits bin Abi Usamah).
Menurut
Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaian berupa kendaraan
yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka
penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda tersebut disesuaikan
dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraaan atau binatang itu
ada padanyaJika dia dibiayai oleh pemiliknya, maka
pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut.
Rasul
bersabda:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ
مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَب
ُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا
وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“ Binatang tunggangan boleh ditunggangi
karena pembiyayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk
diminum karena pembiyayaannya, bila digadaikan bagi orang yang memegang dan
meminumnya wajib memberikan biaya”.[12]
Pengambilan
manfaat pada benda-benda gadai tersebut ditekankan pada biaya atau tenaga untuk
pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai punya kewajiban tambahan. Pemegang
barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah
hewan. Harus membelikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan.
Jadi yang di bolehkan disini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang
gadaian yang ada pada dirinya.[13]
F.
Pandangan
Ulama Mengenai Rukun gadai
Rukun
gadai menurut Abd al-Rahman al-Jaziri ada tiga yaitu Aqid, Maqud alaih (yang
diakadkan), Shighat (akad gadai). Ibnu Rusyd dalam kitabnya menjabarkan secara detil
mengnai rukun gadai beserta pendapat para imam madzhab. Ia mengatakan rukun
gadai terdiri dari tiga bagian:
Pertama:
Orang yang menggadaikan
Tidak
ada perselsihan bahwa di antara sifat-sifat orang yang menggadaikan adalah mahjur
alaih dan dikenal sebagai biasa melunasi hutang. Washi (orang yang
dipesan untuk mengurus wasiat) boleh menggadaikan untuk kepentingan orang yang
berada dalam kekuasaanya manakala tindakan tersebut untuk melunasi hutang dan
memang diperlukan, pendapat ini dikemukakan oleh imam Malik.
Menurut
Syafi’i, washi dibolehkan menggadaikan karena ada kepentingan yang jelas.
Menurut Malik, budak mukatab (budak yang berupaya memerdekakan dirinya dengan
cara mencicil) dan orang yang diberi izin boleh menggadaikan. Menurut Sahnun,
jika seseorang menerima gadai karena harta yang dihutangkan maka hal itu tidak
boleh, maka dalam hal ini Syafi’i juga mengemukakan pendapat yang sama.
Malik
dan Syafi’i sependapat bahwa orang bangkruttidak boleh menggadaikan, namun Abu
Hanifah membolehkan bersamaan dengan itu tidak ada pendapat yang tegas dari
Malik berkenaan dengan orang yang habis hartanya karena hutang, apakah ia boleh
menggadaikan? Dalam arti, apakah perbuatannya itu mengikat atau tidak? Menurut
pendapat Malik yang terkenal ia tidak boleh menggadaikan, yakni sebelum ia
menjadi bangkrut.
Kedua:
Akad gadai
Ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa transaksi gadai itu bisa sah dengan memenuhi tiga
syarat. Pertama, harus berupa barang, karena hutang tidak bisa digadaikan.
Kedua, kepemilikan barang yang digadaikan tidak terhalang, seperti mushaf.
Malik membolehkan penggadaikan mushaf, tetapi penerima gadai dilarang
membacanya. Perselisihan dalam hal ini berpangkal pada jual beli. Ketiga,
barang yang digadaikan bisa dijual manakala pelunasan hutang itu sudah jatuh
tempo.
Menurut
imam Malik menggadaikan barang yang tidak boleh dijual, itu boleh, seperti
tanaman tani dan buah-buahan yang belum layak dipetik. Jika sudah layak
dipetik, maka menurut Malik boleh dijual untuk melunasi hutang yang sudah jatuh
tempo. Tentang penggadaian buah yang belum layak dipanen, dari Syafi’i ada dua
pendapat, boleh menggadaikan, dan jika masa hutang sudah jatuh tempo, maka buah
tersebut bisa dijual dengan syarat dipetik. Menurut Abu Hamid, pendapat yang
paling benar adalah yang membolehkan. Bagi Malik menggadaikan barang yang belum
jelas nilainya seperti dinar dan dirham yang sudah dicetak, itu boleh.
Menurut
Malik dan Syafi’i, kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak
menjadi syarat gadai. Bahkan keduanya membolehkan barang gadaian itu berstatus
pinjaman. Para fuqaha sepakat bahwa di antara syarat gadai adalah ikrar
penggadaian bahwa barang gadaian harus berada di tangan penerima gadaian.
Kemudian mereka berselisih pendapat apabila penerima gadai menerima barang
tersebut dengan cara merampas, kemudian orang yang dirampas barangnya itu
menyatakan barang tersebut sebagai barang gadai an yang ada di tangannya. Dalam
hal ini imam Malik membolehkan pemindahan barang yang dirampas itu dari
tanggungan ghashab menjadi tanggungan gadai. Orang yang dirampas barangnya itu
menganggap barangnya tersebut sebagai barang gadai di tangan perampas, sebelum
ia menerima barang itu.
Berbeda
dengan Malik, maka menurut Syafi’i, tidak boleh, bahkan barang itu tetap berada
dalam tanggungan ghashab, kecuali jika orang yang dirampas menerima kembali
barangnya. Dalam kaitan ini pula fuqaha pun berselisih pendapat tentang
penggadaian bagian barang dari milik bersama. Menurut Abu Hanifah tidak boleh,
tetapi menurut Malik dan Syafi’i boleh.
Ketiga:
Barang yang digadaikan
Aturan
pokok dalam madzhab Maliki bahwa gadai itu dapat dilakukan untuk semua barang
yang berharga dan dapat diperjual belikan kecuali jual beli mata uang itu harus
tunai. Karena itu, sharf tidak bisa menjadi transaksi gadai. Begitu pula modal
salam, meski pun menurut Malik, lebih ringan dibanding sharf.
Sekelompok
fuqaha zahiri berpendapat bahwa akad gadai hanya berlaku pada barang pesanan.
Demikian itu karena ayat yang berkenaan dengan gadai itu menjelaskan posisi
utang piutang barang dagangan, dan menurut mereka, itu transaksi pesanan.
Menurut
madzhab Maliki dibolehkan mengambil gadai pada salam hutang, ghashab harga
barang-barang konsumsi, denda tindak kriminal pada harta benda, serta pada
tindak penganiayaan secara sengaja yang tidak ada qishashnya, seperti
al-Ma’mumah dan al-Jaifah.
Gadai
juga dibolehkan pada barang pinjaman yang diboleh tanggungan dan tidak
dibolehkan pada barang pinjaman yang tidak di bawah tanggungan. Gadai juga di
bolehkan pada sewa menyewa. Dibolehkan pula pada upah jasa sesudah bekerja,
bukan sebelumnya. Demikian pula gadai bisa diadakan pada mas kawin tetapi tidak
boleh pada hudud, qishash atau proses kemerdekaan budak.
Dalam
hubungan ini menurut pendapat ulama Syafi’iyah, barang yang digadaikan itu
memiliki tiga syarat. Pertama, berupa hutang karena barang hutangan itu tidak
dapat digadaikan. Kedua, menjadi tetap, karena sebelum tetap tidak dapat
digadaikan, seperti jika seseorang menerima gadai dengan imbalan sesuatu dengan
yang dipinjamnya. Tetapi Malik membolehkan hal ini. Ketiga, barang yang
digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran yang akan terjadi, baik wajib
atau tidak seperti gadai dalam kitabah. Pendapat ini mirip dengan madzab
Maliki.[14]
G.
Perbedaan dan Persamaan Gadai
Syariah dan Gadai Konvesonal
1. pengertian
- Pegadaian Syari’ah
Gadai dalam fiqh gadai (rahn) adalah
prjanjian suatu barang sebagai tanggungan hutang, atau menjadikan suatu benda
bernilai menutrut pandangan syara sebagai tanggungan pinjaman, sehingga dengan
adanya tanggungan utang ini seluruh atau sebagian utang dapat diterima.[15]
- Pegadaian Konvensional
Pegadaian Konvensional (Umum) adalah
suatu hak yang diperbolehkan seseorang yang mempunyai pitutang atas suatu
barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh
orang lain atas nama orang yang mempunyai utang, dan yang memberikan kekuasaan
kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut
secara didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian
biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelematankanya setelah barang itu
digadaikan.[16]
2.
Persamaan
Gadai Konvensional dengan Gadai Syariah
Persamaan gadai konvensional dengan
gadai syariah adalah seperti berikut:
- Hak gadai berlaku atas pinjaman
uang;
- Adanya agunan (barang jaminan)
sebagai jaminan utang;
- Barang yang digadaikan di
tanggung pemberi gadai;
- Apabila batas waktu pinjaman
uang telah habis , barang yang di gadaikan bole di jual atau di lelang
3. Perbedaan
gadai syariah dengan gadai konvensiaonal
Perbedaan
gadai syariah dengan gadai konvensional adalah sebagai berikut:
- Gadai
syariah dilakukan secara suka rela tanpa mecari keuntungan, seadangakn
gadai konvensional dilakukan dengan prinsip tolong- menolong tetapi juga
menarik keuntungan.
- Hak
gadai syariah berlaku pada seluruh harta (beda bergerak dan benda tidak
bergerak)
- Gadai
syariah dilaksanakan melakukan suatu lembaga, sedangkan gadai konvensional
dilaksanakan melalui suatu lembaga (perum pegadaian)[17]
H.
Perlakuan
Bunga dan Riba dalam Perjanjian Gadai
Aktivitas perjanjian gadai yang selama ini telah
berlaku, yang pada dasranya adalah perjanjian utang-piutang, dimungkinkan
terjadi riba yang dilarang oleh syara’. Riba terjadi apabila dalam perjanjian
gadai ditemukan bahwa harus memberikan tambahan sejumlah uang atau prosentase
tertentu dari pokok utang, pada waktu membayar utang atau pada waktu lain yang
telah ditentukan oleh murtahin ( مرتحن ). Hal
ini lebih sering disebut bunga gadai dan perbuatan yang dilarang syara’. Karena
itu aktivitas perjajian gadai dalam Islam tidak membenarkan adanya praktik
pemungutan bunga karena larangan syara’, dan pihak yang terbebani, yaitu pihak
penggadai akan merasa dianiaya dan tertekan, karena selain harus mengembalikan
utangnya, dia juga masih berkewajiban untuk membayar bunganya.[18]
Kondisi saat ini, gadai sudah menjadi lembaga
keuangan formal yang telah diakui oleh pemerintah. Mengenai fungsi dari
penggadaian tersebut tentu sudah bersifat komersil. Artinya pegadaian harus
memperoleh pendapatan guna menggantikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan,
sehingga pegadaian mewajibkan menambahkan sejumlah uang tertentu kepada nasabah
sebagai imbalan jasa.[19]
Minimal biaya itu dapat menutupi biaya operasional gadai. Gadai yang ada saat
ini, dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang
memberatkan dan mengarahkan kepada suatu persoalan riba, yang dilarang oleh
syara’ menurut A.A. Basyir. [20]
Mengenai riba itu, Afzalurahman dalam Muhammad Skholikhul Hadi,
memberikan pedoman bhwa yang dikatakan riba, di dalamnya terdapat tiga unsur
berikut
1)
Kelebihan
dari pokok pinjaman
2)
Kelebihan
pembayaran itu sebagai imbalan tempo pembayaran;
III.
PENUTUP
Kesimpulan
Rahn adalah “Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang
yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang”,
Rahn termasuk akad yang bersifat
‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah menyerahkan benda yang
dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan qirad.
Dalam dasar hukum gadai, ada dalil-dalil yang melandasi di perbolehkannya
gadai yang bersal dari Al-Qur’an dan hadis.
Rukun gadai yaitu akad dan ijab Kabul, akid, barang yang di
jadikan jaminan (borg). Syarat gadai Orangnya sudah dewasa, berpikiran sehat, barang yang akan digadaikan sudah ada pada
saat terjadi akad, barang yang dapat dijadikan jaminan.
Pengambilan manfaat pada barang-barang gadai seperti hewan
dan kendaraan ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga
bagi yang memegang barang-barang gadai seperti diatas punya kewajiban tambahan.
Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, barang yang digadaikan
itu memiliki tiga syarat. Pertama, berupa hutang karena barang hutangan itu
tidak dapat digadaikan. Kedua, menjadi tetap, karena sebelum tetap tidak dapat
digadaikan, seperti jika seseorang menerima gadai dengan imbalan sesuatu dengan
yang dipinjamnya. Tetapi Malik membolehkan hal ini. Ketiga, barang yang
digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran yang akan terjadi, baik wajib
atau tidak seperti gadai dalam kitabah. Pendapat ini mirip dengan madzab Maliki.
Perbedaan rahn dengan gadai yaitu gadai syariah dilakukan secara suka rela tanpa mecari keuntungan,
seadangakn gadai konvensional dilakukan dengan prinsip tolong- menolong tetapi
juga menarik keuntungan. Dan persamaan rahn dengan gadai yaitu adanya agunan
(barang jaminan) sebagai jaminan utang.
DAFTAR PUSTAKA
Hendi Suhendi Fiqih Muamalah, Cet.I, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.2005
Rahmat Syafei, Fiqih
Muamalah, Pustaka Setia. Bandung. 2006
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah.Cet.I, Alfabeta.
Bandung. 2011
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihaya al-Muqtashid,
Dar al-Jiil. Birut. 1990
Ahmad Azhar
Basyir, Riba,Utang-piutang dan Gadai,cet.
Ke II, Al- Ma’arif. Bandung. 1983
Sulaiman Rasyid. Fiqh
islam, Al-Tahiriyah. Jakarta. 1973
[1]Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah al-Majadallad al-Tsalis, (Kairo:
Dar al-fath lil I’lam al-‘Arabi, 1990), h. 123
[2]Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar fiqh muamalah, (Jakarta: Bulan
Bintang 1984), h. 86-87
[3]Sayyid Sabiq dalam fiqih al- sunnah, Op.Cit, h. 187
[4]Sulaiman Rasyid. Fiqh islam, (Jakarta:
al-Tahiriyah, 1973), h. 295.
[5]Ahmad Azhar Basyir, Riba,Utang-piutang dan Gadai,cet. Ke II, (Bandung:Al- Ma’arif,1983), h. 50
[11]Ibid, h.256
[12] al-kahlani,subul al-salam, h. 51
[14]Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid
wa Nihaya al-Muqtashid, (Bairut: Dar al-Jiil, 1990), h. 204
[15]Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, (Bandung: Alfabeta,
2011), h. 78
[16]Ibid h. 78
[17]Ibid h. 78
[18]Muhammad Skholikhul Hadi, Pegadaian
Syari’ah, Salemba Diniyah. 2003, h. 3
[19]Ibid h. 61
[21]Muhammad Skholikhul Hadi, Op,
cit, h. 64
izin share yha
BalasHapus