KATA PENGANTAR
بسم الله الر حمن الر حيم
Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta
alam. Shalawat dan salam atas Rasulallah SAW, segenap keluarga dan
sahabat-sahabatnya, serta semua pengikutnya hingga akhir kiamat. Amma ba”du.
Kami bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberikan taufiq dan hidayahnya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Upaya Hukum Di Peradilan
Agama”
Kami ucapkan banyak terima kasih kepada Dosen Pembimbing sebagai mediator yang telah mempercayai makalah ini pada kami, dan para
pembaca yang selalu berusaha melengkapi cakrawala pengetahuan, kami menyadari
bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca khususnya dari Dosen
Pembimbing, guna perbaikan di masa mendatang.
Akhir kata saya persilahkan pembaca untuk menyimak sendiri dan
membandingkannya dengan tulisan lain. Kiranya makalah ini bermanfaat, saya
yakin bahwa yang tersirat dan yang tersurat di dalamnya akan banyak membantu
memahami hukum yang positif kita saat ini. Atas partisipasinya kami ucapkan
terima kasih.
Makassar, April 2015
Penulis
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Sejak dulu di Indonesia sudah terjadi kasus-kasus hukum, seperti halnya
kasus korupsi, kasus perceraian, dan kasus-kasus yang lainnya. Seiring dengan
perkembangan zaman, penyelesai hukum yang sekarang agak berbeda dengan
penyelesaian hukum pada zaman sebelumnya. Sekarang ini, dalam menyelesaikan
kasus-kasus hukum itu, sebagian besar para pelaku menggunakan berbagai upaya
hukum, agar dapat meringankan putusan hukum yang seringan-ringannya. Ada dari
mereka yang mengajukan upaya banding, ada juga dari mereka yang menggunakan
upaya kasasi ataupun upaya peninjauan kembali (PK).
Oleh karena itu perlu adanya pemaparan tentang apa yang dimaksud dengan
upaya hukum beserta pembahasannya yakni mengenai upaya hukum yang akan di
tempuh apabila pelaku masih tidak puas karena putusan hakim yang mungkin
dinilai tidak adil dalam kasusnya. Upaya hukum tersebut meliputi banding,
kasasi dan upaya hukum luar biasa seperti peninjauan kembali.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian upaya Hukum...?
2. Bagaimana
Upaya Hukum Biasa..?
3. Bagaimana
Upaya Hukum luar Biasa..,?
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Upaya Hukum dan
Macam-macam Upaya Hukum
Upaya hukum yaitu suatu usaha bagi setiap pribadi atau badan hukum yang merasa dirugikan haknya atas kepentingannnya untuk memperolehg keadilan dan perlindungan/kepastian hukum, menurut cara-cara yang ditetapkan dalam undang-undang.
Jens-jenis upaya hukum
Upaya hukum yaitu suatu usaha bagi setiap pribadi atau badan hukum yang merasa dirugikan haknya atas kepentingannnya untuk memperolehg keadilan dan perlindungan/kepastian hukum, menurut cara-cara yang ditetapkan dalam undang-undang.
Jens-jenis upaya hukum
1. upaya hukum melawan gugatan
a. Eksepsi,
b. Rekonvensi (gugat balik);
c. Minta vrijwaring
2. upaya hukum melawan putusan
a. Upaya hukum biasa
– Verzet
– Banding
– Kasasi
b. Upaya hukum luar biasa
– Rekes sipil (peninjauan kembali)
– Derden verzet
3. Upaya hukum melawan sita
a. Verzet yang bersangkutan;
b. Verzet pihak ketiga;
4. Upaya hukum melawan eksekusi
a. Verzet yang bersangkutan;
b. Verzet pihak ketiga
5. upaya hukum untuk
mencampuri proses;
a. Intervensi (tussenkomst =
mencampuri)
b. Voeging (turut serta pada salah
satu pihak)
c. Vrijwaring (ditarik sebagai penjamin)
6. Upaya hukum pembuktian:
a. Saksi
b. Tulisan
c. Dugaan/persangkaan;
d. Pengakuan
e. Sumpah dan lain-lain.
Semua ini merupakan suatu upaya
hukum terhadap suatu sengketa yang telah diproses di pengadilan. Sedang upaya
hukum bagi pihak yang dirugikan oleh orang lain atau untuk sesuatu kepentingan hukum
baginya yang belum diproses di pengadilan ialah mengajukan perkara ke
pengadilan.
Dari semua macam-macam upaya hukum
di atas, pada makalah ini yang kita bicarakan adalah tentang upaya hukum
melawan putusan,
yaitu upaya hukum
biasa (Verzet, Banding dan kasasi) dan upaya hukum luar biasa
(peninjauan kembali dan derden verzet)
B. Upaya Hukum Biasa
1. Verzet
a. Pengertian Verzet
Verzet adalah perlawanan dari
tergugat terhadap putusan verstek atau putusan al-qadla ala al-gha’ib, yaitu
putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya tergugat..
b. Dasar Hukum Verzet
Dasar hukum verzet adalah pasal 129
HIR/153 Rbg, yang memberi kemungkinan bagi tergugat/para tergugat yang dihukum
verstek untuk mengajukan verzet atau perlawanan. Dengan ketentuan, kedua
perkara tersebut (verstek dan verzet)tersebut dijadikan satu dan diberi nomor,
sedapat mungkin perkara tersebut dipegang oleh Majelis Hakim yang melakukan
pemeriksaan perkara verzet atas putusan verstek harus memeriksa harus memeriksa
gugata yang telah diputus verstek tersebut secara keseluruhan. Pembuktiannya
agar mengacu pada SEMA NO.9 tahun 1964.
Apabila tela dijatuhkan putsan
verstek dan ternyata penggugat mengajukan bandimng, maka tergugat tidak dapat
mengajukan verzet, melainkan ia boleh mengajukan banding. Tetapi, jika
penggugat tidak mengajukan banding, maka tergugat tidak boleh mengajukan
banding, melainkanboleh mengajukan verzet.
c. Syarat-Syarat Verzet
Syarat-syarat banding adalah:
– Diajukan oleh
pihak-pihak dalam perkara
– Diajukan masih
dalam masih masa tenggang waktu verzet
– Putusan
tersebut, menurut hukum, boleh dimintakan verzet
– Dan lain-lain..
d. Tata cara verzet
Tata cara pengajuan verzet sama
dengan tata cara pengajuan surat gugatan, yaitu boleh dilakukan dengan secara
lisan dan boleh dengan secara tertulis (120 HIR/142 R.Bg dan 118 HIR/144 R.Bg).
e. Tenggang Waktu Verzet
Tenggang waktu verzet diatur dalam
pasal 129 HIR sebagai berikut:
– Apabila pemberitahuan isi putusan verstek itu dapat disampaiakna langsung kepada tergugat, maka tenggang waktu verzet ialah 14 hari sejak setelah hari pemberitahuan.
– Apabila pemberitahuan is putusan itu ternyata tidak dapat disampaikan langsung kepada tergugat (tidak bertenmu langsung) tetapi disampaikna lewat Kepala Desa, dan tergugat ternyata tidak melaksanakan putuan dengan sukarela kemudian ketua PA akan memanggil tergugat supaa dating di kantor PA untuk mendapat teguran, kemudian apabila tergugat dating dan telah menerimaa teguran tersebut, maka tenggang waktu verzet adalah 8 hari setelah tergugat mendapat teguran.
– Apabila terjadi seperti tersebut di atas, dan ternyata pada waktu dipanggil untuk teguran tergugat tidak datnag menghadap, kemudian ketua PA mengeluarkan perintah eksekusi. Dalam hal ini maka batas waktu verzet ialah 8 hari setelah tanggal eksekusi (197 HIR).
– Apabila pemberitahuan isi putusan verstek itu dapat disampaiakna langsung kepada tergugat, maka tenggang waktu verzet ialah 14 hari sejak setelah hari pemberitahuan.
– Apabila pemberitahuan is putusan itu ternyata tidak dapat disampaikan langsung kepada tergugat (tidak bertenmu langsung) tetapi disampaikna lewat Kepala Desa, dan tergugat ternyata tidak melaksanakan putuan dengan sukarela kemudian ketua PA akan memanggil tergugat supaa dating di kantor PA untuk mendapat teguran, kemudian apabila tergugat dating dan telah menerimaa teguran tersebut, maka tenggang waktu verzet adalah 8 hari setelah tergugat mendapat teguran.
– Apabila terjadi seperti tersebut di atas, dan ternyata pada waktu dipanggil untuk teguran tergugat tidak datnag menghadap, kemudian ketua PA mengeluarkan perintah eksekusi. Dalam hal ini maka batas waktu verzet ialah 8 hari setelah tanggal eksekusi (197 HIR).
2. Banding
a. Pengertian Banding
Banding adalah permohonan yang
diajukan oleh salah satu pihak yang terlibat dalam perkara, agar penetapan atau
putusan yang dijatuhkan pengadilan agama diperiksa ulang dalam tingkat banding
oleh Pengadilan Agama Tinggi, karena merasa belum puas dengan putusan
pengadilan tingkat pertama.
b. Dasar Hukum Pengajuan banding
Dalam pasal 21 ayat (1)
Uandang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman dinyatakan bahawa
“terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding
kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali
undang-undang menentukan lain. Sebagai aturan organic dari pasal 21 ayat (1) di
ats, khusus untuk peradilan Agama, ketentuan mengenai putusan Pengadilan Agama
yang dapat diajukan banding kepada pengadilan Agama Tinggi Agama disebuitkan
dalam pasal 61 undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agma
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
peradialn Agama, yait”Atas penetapan dan putusan pengadilan Agama dapat
dimintakan banding oleh yang berperkara, kecuali apabila undang-undang
menentukan lain”.
Pengecualian yang disebutkan di atas
dapat dilihat dari dua kategori. Kategori pertama perkara yang bersifat
financial sebagaimana diatur dalam pasal 49 huruf I Undang-Undang Nomor 3 tahun
2006 tentang perubahan Atas undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama mengenai Ekonomi Syariah, maka perkara yang diajukan banding mengacu
kepada nilai standar obyek terperkara sebagaimana diatur dalam Pasal 6
undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulang di jawa dan Madura,
yaitu tidak boleh kurang dari seratus rupiah. Kategori kedua adalah bahwa perkara
yang dapat diajukan banding adalah perkara Contensiosa, buka voluntair. Jadi,
keputusan Pengadilan Agama atas perkara voluntair yang diformulasikan dalam
bentuk penetapan tidak dapat diajukan banding.
c. Syarat-syarat banding
Syarat-syarat banding adalah:
– Diajukan oleh
pihak-pihak dalam perkara
– Diajukan masih
dalam masih masa tenggang waktu banding
– Putusan
tersebut, menurut hukum, boleh dimintakan banding
– Membayar panjar
biaya banding, kecuali dalam hal prodeo
– Menghadapi di
kepaniteraan Pengadilan Agama yang putusannya dimohonkan banding.
d. Tata cara pengajuan banding
Mengenai tata cara banding, melihat
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 199 sampai dengan 205 R.Bg dan Undang-undang
Nomor 20 Tahun 1947.
e. Mencabut Permohonan Banding
– Sebelum permohonan banding diputus
oleh Pengadilan Tinggi Agama,maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali
oleh pemohon.
– Apabila berkas perkara belum
dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi Agama, maka:
* Pencabutan disampaiakan kepada Pengadilan Agama yang
bersangkutan;
* Kemudian oleh panitera dibuatkan akta pencabutan kembali permohonan banding;
* Putusan baru memperoleh kekuatan tetap setelah waktu banding berakhir
* Berkas perkara banding tidak perlu diteruskan kepada Pengadilan Tinggi Agama
– Apabila berkas perkara banding telah dikirimkan kepada pengadilan Tinggi Agama, maka * Bagi pencabutan banding disampaikan melalui Pengadilan Agama yang bersangkutan atau langsung ke Pengadilan Tinggi Agama.
* Kemudian oleh panitera dibuatkan akta pencabutan kembali permohonan banding;
* Putusan baru memperoleh kekuatan tetap setelah waktu banding berakhir
* Berkas perkara banding tidak perlu diteruskan kepada Pengadilan Tinggi Agama
– Apabila berkas perkara banding telah dikirimkan kepada pengadilan Tinggi Agama, maka * Bagi pencabutan banding disampaikan melalui Pengadilan Agama yang bersangkutan atau langsung ke Pengadilan Tinggi Agama.
* Apabila pencabutan itu disampaikan melalui
pengadilan Agama, maka pencabutan itu segera dikirim ke Pengadilan Tingi Agama.
* Apabila permohonan banding belum diputus maka
Pengadilan Tinggi Agama akan mengeluarkan “penetapan” yang isinya, bahwa
mengabulkan pencabutan kembali permohonan banding dan memerintahkan untuk
mencoret dari daftar perkara banding.
* Apabila perkara telah diputus maka pencabutan tidak
mungkin dikabulkan.
* Apabila permohonan banding dicabut, maka putusan
telah memperoleh kekuatan hukum tetap sejak pencabutan dikabulkan dengan
“penetapan” tersebut.
– Pencabutan banding tidak diperlukan
persetujuan pihak lawan.
f. Waktu Pengajuan Banding:
– Bagi pihak yang bertempat kediaman
di daerah hukum Pengadilan Agama yang putusannya dimohonkan banding tersebut
maka bandingnya ialah 14 hari terhitung mulai hari berikutnya dari hari
pengumuman putusan kepada yang bersangkutan.
– Bagi pihak yang bertempat kediaman dilauar daerah hukum Pengadilan Agama yang putusannya dimohonkan banding tersebut, maka masa bandingnya ialah 30 Hari terhitung mulai hari kerja berikutnya dari pengumuman putusan kepada yang bersangkutan (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 tahun 1947).
– Dalam hal permohonan banding dengan prodeo, maka masa banding dhitung m,ulai hari berikutnya dari hari pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi Agama tenatang ijin berperkara secara prodeo tersebut diberitahukan kepada yang bersangkutan oleh Pengadilan Agama (Pasal 7 ayat (1), (2), (3), Undang-Undang No.20 Tahun 1947)
– Bagi pihak yang bertempat kediaman dilauar daerah hukum Pengadilan Agama yang putusannya dimohonkan banding tersebut, maka masa bandingnya ialah 30 Hari terhitung mulai hari kerja berikutnya dari pengumuman putusan kepada yang bersangkutan (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 tahun 1947).
– Dalam hal permohonan banding dengan prodeo, maka masa banding dhitung m,ulai hari berikutnya dari hari pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi Agama tenatang ijin berperkara secara prodeo tersebut diberitahukan kepada yang bersangkutan oleh Pengadilan Agama (Pasal 7 ayat (1), (2), (3), Undang-Undang No.20 Tahun 1947)
3. Kasasi
a. Pengertian Upaya hukum
Kasasi
Kasasi artinya mohon pembatalan
terhadap putusan/penetapan Pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Agama) atau
terhadap putusan Pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi Agama ke
Mahkamah Agung di jakarta, mlalui pengadilan tingkat pertama yang memutus karena
adanya alasan tertentu, dalam waktu tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu.
b. Dasar Hukum Kasasi
Dasar hukum kasasi adalah pasal 22
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa
terhadap putusan Pengadilan dalam tingkat banding dapat dimntkan kasasi ke
Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-udang
menentukan lain. Dalam pasal 43 Undamg-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang
mahkamah Agung dinyatakan, bahwa permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika
pemohon terhadap perkaranya telah upya hukum banding, Karena lain oleh
undang-undang.
c. Syarat-syarat Kasasi
Syarat-syarat untuk mengajukan
kasasi ialah:
– Diajukan oleh pihak yang berhak
mengajukan kasasi
– Diajukan masih dalah tenggang
waktu kasasi
– Putusan atau penetapan judex
factie, menurut hukum dapat dimintakan kasasi.
– Membuat memori kasasi
– Membayar uang panjar biaya kasasi
– Menghadap di Kepaniteraan Pengadilan
Agama yang bersangkuta
d. Tata cara kasasi
– Permohonan dajukan pada Pengadilan
Agama, dengan melenngkapi semua kelengkapan administrasinya.
– Setelah Proses administrasi di
Pengadilan Agama selesai, maka akan dilanjutkan pada tingkat mahkamah Agung
dengan melalui tahapan-tahapan tertentu seperti pencatatan permohonan kasasi
oleh panitera mahkamah Agung dan tahapan lainnya.
– Setelah Mahkamah Agung memberi
putusan maka, putusan mahkamah Agung dikirim pada Pengadilan Agama pada meja
III, selanjutnya memberitahukan kepada kedua belah pihak melaui jurusita
pengganti.
e. Tenggang waktu untuk kasasi
Permohonan kasasi hanya dapat diajukan dalam masa
tenggang waktu kasasi yaitu 14 hari setelah putusan atau penetapan pengadilan
diberitahukan kepada yang bersangkutan (pasal 46 ayat (1)). UU NO.14 Tahun 1985
f. Pencabutan Permohonan kasasi (pasal
49 UU No.14 Tahun 1985)
– Sebelum permohonan kasasi di putus
oleh mahkamah Agung maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh
permohonan, tanpa persetujuan pihak lawan.
– Apabila berkas perkara belum
dikirimkann ke mahkamah Agung, maka:
• Pencabutan disampaikan kepada Pengadilan Agama yang bersangkutan, baik secara tertulis maupun lisan. • Kemudian oleh panitera dibuatkan Akta Pencabutan kemudian permohonan kasasi.
• Pemohon tidak dapat lagi mengajukan permohonan kasasi dalam perkara itu meski pun tenggang waktu kasasi belum lampau. • Dan berkas itu tidak perlu diteruskan ke Mahkamah Agung.
• Pencabutan disampaikan kepada Pengadilan Agama yang bersangkutan, baik secara tertulis maupun lisan. • Kemudian oleh panitera dibuatkan Akta Pencabutan kemudian permohonan kasasi.
• Pemohon tidak dapat lagi mengajukan permohonan kasasi dalam perkara itu meski pun tenggang waktu kasasi belum lampau. • Dan berkas itu tidak perlu diteruskan ke Mahkamah Agung.
– Apabila berkas perkara telah
dikirimkan kepqada Mahkamah Agung, maka:
• Pencabutan disampiakan melalui Pengadilan Agama yang bersangkutan atau langsung ke Mahkamah Agung. • Apabila permohonan kasasi belum diputus, maka mahkamah Agung akan mengeluarkan “penetapan” yang isinya, bahwa mengabulkan permohonan pencabutan kembali perkara kasasi dan memerintahkan untuk mencoret perkara kasasi.
• Apabila permohonan kasasi telah diputus, maka pencabutan tidak mungkin dikabulkan.
– Apabila permohonan kasasi permohonan kasasi dicabut maka tidak bolehdiajukan lagi permohonan kasasi baru.
• Pencabutan disampiakan melalui Pengadilan Agama yang bersangkutan atau langsung ke Mahkamah Agung. • Apabila permohonan kasasi belum diputus, maka mahkamah Agung akan mengeluarkan “penetapan” yang isinya, bahwa mengabulkan permohonan pencabutan kembali perkara kasasi dan memerintahkan untuk mencoret perkara kasasi.
• Apabila permohonan kasasi telah diputus, maka pencabutan tidak mungkin dikabulkan.
– Apabila permohonan kasasi permohonan kasasi dicabut maka tidak bolehdiajukan lagi permohonan kasasi baru.
– Apabila permohonan kasasi telah
dicabut maka putusan yang dimintkan kasasi yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap terghitung sejak tanggal dibuatkan akta pencabutan kasasi atau
dikeluarkanya “penetapan” pencabutan kasasi.
C. Upaya Hukum Luar Biasa
1. Peninjauan Kembali
a. Pengertian Peninjauan kembali
Peninjauan kembali atau request
civiel yaitu memeriksa dan mengadili atau memutus kembali putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan tetap karena diketahui terdapat hal-hal baru yang
dulu tidak dapat diketahui, yang apabila terungkap maka keputusan hakim akan
menjadi lain.
b. Dasar Hukum peninjauan kembali
Peninjauan kembali hanya dapat
dilakukan oleh Mahkamah agung. Peninjauan kembali diatur dalam Undang-undang
No14 Tahun 1985 tentahg mahkamah Agung. Apablia terdapat hal-hal atau
keadaaan-keadaan yang ditentukan undang-undang, terhadap putusan pengadilan
yang telah memperolah kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali
kepada mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana, oleh pihak-pihak yang
berkepentingan (Pasal 21 UU No.14/11970).
c. Syarat-syarat permohonan
peninjauan kembali
Syarat-syarat permohonan peninjauan
kembali ialah;
– Diajukan oleh pihak yang
berperkara, ahli warisnya, ataui wakilnya yang secara khusus diberi kuasa untuk
itu,
– Putusan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap –
Membuat permohonan peninjauan kembali yang memuatalasan-alasannya.
– Diajukan oleh pemohon kepada Mahkamah Agung melalui ketua pengadilan Agama yang memutus perkara dalam tenggang waktu 180 hari (atau sesuai alasan yang disebutkan). – Membayar uang panjar (uang muka) biaya peninjauan kembali
– Diajukan oleh pemohon kepada Mahkamah Agung melalui ketua pengadilan Agama yang memutus perkara dalam tenggang waktu 180 hari (atau sesuai alasan yang disebutkan). – Membayar uang panjar (uang muka) biaya peninjauan kembali
d. Tata cara permohonan peninjauan
kembali
Tata cara permohonan peninjauan kembali adalah sebagai
berikut:
– Permohonan diajukan oleh pemohon
(ahli warisnya atau wakilnya) kepada Mahkamah Agung yang memutus perkara dalam
tingkat pertama (pasal 70 ayat (1) UU No.14 Tahun 1985 ). –
Permohonan diajukan oleh pemohon secara tertulis dengan menyebutkan
dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang dijadikan dasar permohonan.
– Apabila pemohon tidak dapat menulis maka ia menguraikan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua pengadilan Agama yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau hakin yang ditunjuk oleh ketua pangadilan yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut (pasal 71 UU No.14 Tahun 1985).
– Mahkamah Agung memeriksa dan memutus dengan sekurang-sekurangnya dengan tiga orang hakim (pasal 40 ayat (1) UU No.14 tahun 1985).
– Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya satu kali (pasal 66 ayat (1) UU No.14 Tahun 1985). – Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menantikan pelaksaan putusan (pasal 66 ayat (2) UU No.14 Tahun 1985).
– Mahkamah Agung berwenang memerintahkan Pengadilan Agama yang memeriksa perkara dalam tingkat pertama atau tingkat pertama atau Pengadilan Tinggi (tingkat banding) mengadakan pemeriksaan tambahan, atau meminta segala hal keterangan serta pertimbangan dari pengadilan yang dimaksud (pasal 73 ayat (1) UU No.14 Tahun 1985). – Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus.
– Apabila pemohon tidak dapat menulis maka ia menguraikan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua pengadilan Agama yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau hakin yang ditunjuk oleh ketua pangadilan yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut (pasal 71 UU No.14 Tahun 1985).
– Mahkamah Agung memeriksa dan memutus dengan sekurang-sekurangnya dengan tiga orang hakim (pasal 40 ayat (1) UU No.14 tahun 1985).
– Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya satu kali (pasal 66 ayat (1) UU No.14 Tahun 1985). – Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menantikan pelaksaan putusan (pasal 66 ayat (2) UU No.14 Tahun 1985).
– Mahkamah Agung berwenang memerintahkan Pengadilan Agama yang memeriksa perkara dalam tingkat pertama atau tingkat pertama atau Pengadilan Tinggi (tingkat banding) mengadakan pemeriksaan tambahan, atau meminta segala hal keterangan serta pertimbangan dari pengadilan yang dimaksud (pasal 73 ayat (1) UU No.14 Tahun 1985). – Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus.
e. Tenggang waktu pengajuan
Peninjauan kembali
2. Derden Verzet
a. Pengertian derden Verzet
Derden Verzet adalah perlawanan
pihak ketiga terhadap subjek pihak-pihak yang terdapat dalam suatu perkara yang
yang telah diputus, yang merugikan kepentingannya, sebelum putusan mempunyai
kekuatan hukum tetap atau sebelum penetapan eksekusi dilaksanakan.
b. Alasan-alasan pengajuan derden
verzet
Derden verzet dapat diajukan dengan
alasan atau alasan-alasan sebagai berikut:
– Atas Alasan milik murninya pelawan, yaitu bahwa apa yang diperkarakan oleh para terlawan adalah milik pelawan.
– Atas Alasan milik murninya pelawan, yaitu bahwa apa yang diperkarakan oleh para terlawan adalah milik pelawan.
– Adanya conservatoir beslaag (sita
jaminan) atas barang yang diambil oleh pelawan
– Adanya eksekusi atas barang
miliknya pelawan atau atas barang yang dibelinya dari salah seorang pihak
terlawan.
– Adanya eksekusi yang melebihi dari
putusan
– Adanya derden verzet atas harta pusaka
dan sebagainya.
c. Syarat-syarat pengajuan Derden
verzet
d. Tata cara pengajuan Derden verzet
e. Tenggang waktu pengajuan derden
verzet
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, dapat di simpulkan bahwa upaya hukum melawan putusan dapat dilakukan dengan beberapa upaya hukum, yaitu:
1. Upaya hukum biasa, yaitu:
a. Upaya Hukum verzet
b. Upaya hukum banding
c. Upaya hukum kasasi
2. Upaya hukum luar biasa , yaitu:
a. Upaya Hukum Derden verzet
b. Upaya hukum peninjauan kembali
DAFTAR PUSTAKA
Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, cet.VI,
Lubis, Sulasikin, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, cet. II,
Mubarok , Jaih (Editor), Peradilan Agama di Indonesia, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004
Roihan, Rasyid A., Hukum Acara peradilan Agama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998, cet.VI
Rasyid, Chatib dan Syarifuddin, Hukumn Acara Perdata dalam tori dan Praktik pada Peradilan Agama, Yogyakarta: UII Press, 2009, Cet.I