HAK DAN
KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
OLEH :
Hasmia Wahyunisa
052 2013 0004
PRODI SYARI’AH MUAMALAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2014
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Keluarga yang harmonis dan mengikuti aturan
rumah tangga ataupun mengikuti sesuai dengan ADRT adalah hal yang sangat
penting untuk melanggengkan ikatan rumah tangga tersebut.sehingga harus bisa
menjaga dan memelihara setiap individunya untuk bisa memberikan yang terbaik
kepada suami ataupun istri. Hal itu dikaji dalam ilmu Fikih Munakahat yang
menjelaskan tentang bagaimana hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
Hak dan kewajiban suami istri ?
2.
Bagaimana
Hak dan kewajiban suami terhadap istri ?
3.
Bagaimana
Hak dan Kewajiban istri terhadap suami ?
C.
Tujuan
Pembahasan
1.
Mengetahui
dan memahami bagi yang sudah dan yang akan menjalin rumah tangga akan seberapa
jauh kewajiaban yang harus dilakukan dalam rumah tangga, baik untuk suami
ataupun untuk istri.
2.
Menyadarkan
betapa pentingnya kewajiban bagi suami istri dalam rumah tangga.
3.
Menjalin
rumah tangga yang penuh tanggung jawab untuk mempertahankan jalinannya hingga
akhirhayat.
II.
PEMBAHASAN
A.
Hak dan Kewajiban Suami
Istri
Keluarga
diibaratkan seperti batu bata pertama dalam sebuah bangunan masyarakat. Apabila
keluarga baik, maka masyarakat pun akan ikut menjadi baik dan sebaliknya jika
keluarga rusak, maka masyarakat akan menjadi rusak pula. Oleh karena itu, Islam
memberikan perhatian kepada urusan keluarga dengan perhatian yang sangat besar,
sebagaimana Islam juga mengatur hal-hal yang dapat menjamin keselamatan dan
kebahagiaan keluarga tersebut.
Islam
mengibaratkan keluarga seperti suatu lembaga yang berdiri di atas suatu
kerjasama antara dua orang.Penanggung jawab yang pertama dalam kerjasama
tersebut adalah suami. Allah berfirman :
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ
لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ
أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka.Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka).Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya (istri
yang tidak taat), maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka.Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” (QS. An Nisa’: 34)
Jika suami sama-sama menjalankan tanggung jawabnya masing-masing,
maka akan terwujudlah ketrentaman dan ketenangan hati sehingga sempurnalah
kebahagiaan hidup berumah tangga. Dengan demikian, tujuan hidup berkeluarga
akan terwujud sesuai dengan tuntunan agama, yaitu sakinah, mawaddah, dan
warrohmah.
B.
Hak Suami yang Menjadi
Kewajiban Istri
Hak suami yang menjadi kewajiban istri amatlah
besar sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَوْ كُنْتُ
آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ
لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ
“Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk
sujud pada yang lain, maka tentu aku akan memerintah para wanita untuk sujud
pada suaminya karena Allah telah menjadikan begitu besarnya hak suami yang
menjadi kewajiban istri” (HR. Abu Daud no. 2140, Tirmidzi no. 1159, Ibnu Majah
no. 1852 dan Ahmad 4: 381. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ketaatan seorang istri pada suami termasuk
sebab yang menyebabkannya masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ
شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ
مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima
waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga
kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka
dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga
melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9:
471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
وليس على المرأة
بعد حق الله ورسوله أوجب من حق الزوج
“Tidak ada hak yang lebih wajib untuk
ditunaikan seorang wanita –setelah hak Allah dan Rasul-Nya- daripada hak suami”
(Majmu’ Al Fatawa, 32: 260)
Jika kewajiban istri pada suami adalah semulia
itu, maka setiap wanita punya keharusan mengetahui hak-hak suami yang harus ia
tunaikan.
1)
Menaati Perintah Suami
Istri yang taat pada suami, senang dipandang
dan tidak membangkang yang membuat suami benci, itulah sebaik-baik wanita.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
قِيلَ لِرَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي
تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا
وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?”Jawab beliau, “Yaitu yang
paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan
tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci”
(HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini hasan shahih)
Begitu pula tempat seorang wanita di surga
ataukah di neraka dilihat dari sikapnya terhadap suaminya, apakah ia taat
ataukah durhaka.
Al Hushoin bin Mihshan menceritakan bahwa
bibinya pernah datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan tersebut,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,
أَذَاتُ زَوْجٍ
أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ
مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ
جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apakah engkau sudah bersuami?”Bibi Al-Hushain
menjawab, “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?”, tanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. Ia menjawab, “Aku
tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah di mana
keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan
nerakamu.” (HR. Ahmad 4: 341 dan selainnya. Hadits
ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib
wa At Tarhib no. 1933)
Namun ketaatan istri pada suami tidaklah
mutlak. Jika istri diperintah suami untuk tidak berjilbab, berdandan menor di
hadapan pria lain, meninggalkan shalat lima waktu, atau bersetubuh di saat
haidh, maka perintah dalam maksiat semacam ini tidak boleh ditaati.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ طَاعَةَ فِى
مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam perkara
maksiat. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (kebaikan).”
(HR. Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 1840)
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga memperingatkan,
لاَ طَاعَةَ
لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam
bermaksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad 1: 131. Sanad hadits
ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
2)
Berdiam di rumah dan tidaklah keluar kecuali
dengan izin suami
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي
بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang
dahulu” (QS. Al Ahzab: 33).
Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya
kecuali dengan izin suaminya. Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua
orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri
keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya.”Beliau juga berkata, “Bila si
istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz (pembangkangan),
bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas
mendapatkan siksa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 281)
3)
Taat pada suami ketika diajak ke ranjang
Dari Abu
Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَعَا
الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ لَعَنَتْهَا
الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang pria mengajak istrinya ke
ranjang, lantas si istri enggan memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya
hingga waktu Shubuh” (HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436).
Dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh,
وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى
عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى
عَنْهَا
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya,
tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri
menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit (penduduk langit) murka pada
istri tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.” (HR. Muslim no. 1436)
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
“Ini adalah dalil haramnya wanita enggan mendatangi ranjang jika tidak ada
uzur.Termasuk haid bukanlah uzur karena suami masih bisa menikmati istri di
atas kemaluannya” (Syarh Shahih Muslim, 10: 7).Namun jika istri ada halangan,
seperti sakit atau kecapekan, maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi
hal ini.
4)
Tidak mengizinkan orang lain masuk rumah
kecuali dengan izin suami
فَاتَّقُوا
اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ
وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ
يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ
“Bertakwalah kalian dalam urusan para wanita
(istri-istri kalian), karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah
dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak
kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak
kalian sukai untuk menginjak permadani kalian” (HR. Muslim no. 1218)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ
لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنَ
فِى بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ
أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُه
“Tidak halal bagi seorang isteri untuk berpuasa
(sunnah), sedangkan suaminya ada kecuali dengan izinnya. Dan ia tidak boleh
mengizinkan orang lain masuk rumah suami tanpa ijin darinya. Dan jika ia
menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah dari suami, maka suami mendapat setengah
pahalanya”. (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Dalam lafazh Ibnu Hibban disebutkan hadits dari
Abu Hurairah,
لاَ تَأْذَنُ
المَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَهُوَ شَاهِدُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang wanita mengizinkan seorang
pun untuk masuk di rumah suaminya sedangkan suaminya ada melainkan dengan izin
suaminya.” (HR. Ibnu Hibban 9: 476. Kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad
hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Hadits tersebut dipahami jika tidak diketahui
ridho suami ketika ada orang lain yang masuk. Adapun jika seandainya suami
ridho dan asalnya membolehkan orang lain itu masuk, maka tidaklah masalah.
(Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 193)
5)
Tidak berpuasa sunnah ketika suami ada kecuali
dengan izin suami
Para
fuqaha telah sepakat bahwa seorang wanita tidak diperkenankan untuk
melaksanakan puasa sunnah melainkan dengan izin suaminya (Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyyah, 28: 99). Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu
Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ
لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk
berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin
suaminya.” (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Dalam lafazh lainnya disebutkan,
لاَ تَصُومُ
الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ غَيْرَ رَمَضَانَ
“Tidak boleh seorang wanita berpuasa selain
puasa Ramadhan sedangkan suaminya sedang ada (tidak bepergian) kecuali dengan
izin suaminya” (HR. Abu Daud no. 2458.An Nawawi dalam Al Majmu’ 6: 392
mengatakan, “Sanad riwayat ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim”)
Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan izin bisa jadi dengan ridho suami. Ridho suami sudah sama dengan
izinnya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan,
“Larangan pada hadits di atas dimaksudkan untuk puasa tathowwu’ dan puasa
sunnah yang tidak ditentukan waktunya.Menurut ulama Syafi’iyah, larangan yang
dimaksudkan dalam hadits di atas
adalah larangan haram.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)
Al Hafizh Ibnu
Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud larangan puasa tanpa
izin suami di sini adalah untuk puasa selain puasa di bulan Ramadhan.Adapun
jika puasanya adalah wajib, dilakukan di luar Ramadhan dan waktunya masih
lapang untuk menunaikannya, maka tetap harus dengan izin suami. … Hadits ini
menunjukkan diharamkannya puasa yang dimaksudkan tanpa izin suami.Demikianlah
pendapat mayoritas ulama.” (Fathul Bari, 9: 295)
Dalam Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyah disebutkan,
“Jika seorang wanita menjalankan puasa (selain puasa Ramadhan) tanpa izin suaminya, puasanya tetap sah,
namun ia telah melakukan keharaman.Demikian pendapat mayoritas fuqoha.Ulama
Hanafiyah menganggapnya makruh tahrim.Ulama Syafi’iyah menyatakan seperti
itu haram jika puasanya berulang kali.Akan tetapi jika puasanya tidak
berulang kali (artinya, memiliki batasan waktu tertentu) seperti puasa ‘Arofah,
puasa ‘Asyura, puasa enam hari di bulan Syawal, maka boleh dilakukan tanpa izin
suami, kecuali jika memang suami melarangnya.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28:
99)
Jadi, puasa yang mesti dilakukan dengan izin
suami ada dua macam:
a.
Puasa sunnah yang tidak memiliki batasan waktu
tertentu (seperti puasa senin kamis),
b.
Puasa wajib yang masih ada waktu longgar untuk
melakukannya. Contoh dari yang kedua adalah qodho’ puasa yang waktunya masih
longgar sampai Ramadhan berikutnya.(Bahasan
kali ini dikembangkan dari Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, 3: 192-197)
1.
Jika Suami Tidak di Tempat
Berdasarkan
pemahaman dalil yang telah disebutkan, jika suami tidak di tempat, maka
istri tidak perlu meminta izin pada suami ketika ingin melakukan puasa sunnah.
Keadaan yang dimaksudkan seperti ketika suami sedang bersafar, sedang sakit,
sedang berihrom atau suami sendiri sedang puasa (Lihat Fathul Bari, 9: 296
dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99) Kondisi sakit membuat suami tidak mungkin
melakukan jima’ (hubungan badan). Keadaan ihrom terlarang untuk jima’, begitu
pula ketika suami sedang puasa.Inilah yang dimaksud kondisi suami tidak di
tempat.
2.
Hikmah Mengapa Harus dengan Izin Suami
Ibnu
Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan, “Dalam hadits yang menerangkan masalah ini terdapat
pelajaran bahwa menunaikan hak suami itu lebih utama daripada menjalankan
kebaikan yang hukumnya sunnah. Karena menunaikan hak suami adalah suatu
kewajiban. Menjalankan yang wajib tentu mesti didahulukan dari menjalankan
ibadah yang sifatnya sunnah.” (Fathul Bari, 9/296)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan,
“Sebab terlarangnya berpuasa tanpa izin suami di atas adalah karena suami
memiliki hak untuk bersenang-senang (dengan bersetubuh) bersama pasangannya
setiap harinya.Hak suami ini tidak bisa ditunda karena sebab ia melakukan
puasa sunnah atau
melakukan puasa wajib
yang masih bisa ditunda.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)
[1] Puasa senin kamis bisa saja dilaksanakan
di minggu-minggu berikutnya. Jadi waktunya begitu longgar.
[2] Ini berarti kalau puasanya adalah puasa
Syawal, maka boleh tanpa izin suami karena puasa Syawal adalah puasa yang memiliki batasan waktu tertentu
hanya di bulan Syawal
6)
Tidak menginfakkan harta suami kecuali dengan
izinnya
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُنْفِقُ
امْرَأَةٌ شَيْئًا مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا
“Janganlah seorang wanita menginfakkan sesuatu
dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya” (HR. Tirmidzi no. 670. Syaikh
Al Albani mengatakan hadits ini hasan)
7)
Berkhidmat pada suami dan anak-anaknya
Semestinya
seorang istri membantu suaminya dalam kehidupannya. Hal ini telah dicontohkan
oleh istri-istri shalihah dari kalangan shahabiyah seperti yang dilakukan Asma`
bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma yang berkhidmat
kepada suaminya, Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu.Ia mengurusi hewan
tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal
embernya, serta mengadon tepung untuk membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian
dari tanah milik suaminya sementara jarak tempat tinggalnya dengan tanah
tersebut sekitar 2/3 farsakh[1].”
(HR. Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)
Demikian
pula khidmat Fathimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu.Sampai-sampai kedua tangannya lecet karena menggiling gandum. (HR.
Bukhari no. 5361 dan Muslim no. 2182)
Sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jabir bin
Abdillah radhiyallahu ‘anhu, menikahi seorang janda agar bisa berkhidmat
padanya dengan mengurusi 7 atau 9 saudara perempuannya yang masih belia. Kata
Jabir kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ayahku, Abdullah,
telah wafat dan ia meninggalkan banyak anak perempuan. Aku tidak suka
mendatangkan di tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan mereka. Maka aku
pun menikahi seorang wanita yang bisa mengurusi dan merawat mereka.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Jabir,
فَباَرَكَ اللهُ
لَكَ – أَوْ: خَيْرًا -
“Semoga Allah memberkahimu.”Atau beliau
berkata, “Semoga kebaikan untukmu.” (HR. Muslim no. 715)
8)
Menjaga kehormatan, anak dan harta suami
Allah Ta’ala berfirman,
فَالصَّالِحَاتُ
قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang
taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada” (QS.An Nisa’:
34). Ath Thobari mengatakan dalam kitab tafsirnya (6: 692), “Wanita tersebut
menjaga dirinya ketika tidak ada suaminya, juga ia menjaga kemaluan dan harta
suami.Di samping itu, iawajib menjaga hak Allah dan hak selain itu.”
9)
Bersyukur dengan pemberian suami
Seorang istri harus pandai-pandai berterima
kasih kepada suaminya atas semua yang telah diberikan suaminya kepadanya. Bila
tidak, si istri akan berhadapan dengan ancaman neraka Allah Ta’ala.
Seselesainya dari shalat Kusuf (shalat
Gerhana), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menceritakan
surga dan neraka yang diperlihatkan kepada beliau ketika shalat,
وَرَأَيْتُ
النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا
النِّسَاءَ. قَالُوا: لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكُفْرِهِنَّ. قِيْلَ:
يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ،
لَوْ أَََحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا
قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama
sekali melihat pemandangan seperti hari ini. Dan aku lihat ternyata mayoritas
penghuninya adalah para wanita.”Mereka bertanya, “Kenapa para wanita menjadi
mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?”Beliau menjawab, “Disebabkan
kekufuran mereka.”Ada yang bertanya kepada beliau, “Apakah para wanita itu
kufur kepada Allah?”Beliau menjawab, “(Tidak, melainkan) mereka kufur
kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami).Seandainya engkau berbuat baik
kepada salah seorang istri kalian pada suatu waktu, kemudian suatu saat ia
melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan
berkata, ‘Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu’.”(HR. Bukhari
no. 5197 dan Muslim no. 907).
Lihatlah bagaimana kekufuran si wanita cuma
karena melihat kekurangan suami sekali saja, padahal banyak kebaikan lainnya
yang diberi. Hujan setahun seakan-akan terhapus dengan kemarau sehari.
10)
Berdandan cantik dan berhias diri di hadapan
suami
Sebagian istri saat ini di hadapan suami
bergaya seperti tentara, berbau arang (alias: dapur) dan jarang mau berhias
diri. Namun ketika keluar rumah, ia keluar bagai bidadari. Ini sungguh
terbalik. Seharusnya di dalam rumah, ia berusaha menyenangkan suami.
Demikianlah yang dinamakan sebaik-baik wanita. Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
قِيلَ لِرَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي
تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا
وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling
baik?”Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya,
mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan
hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
11)
Tidak mengungkit-ngungkit pemberian yang
diinfakkan kepada suami dan anak-anaknya dari hartanya
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima)” (QS. Al Baqarah: 264).
12)
Ridho dengan yang sedikit, memiliki sifat
qona’ah (merasa cukup) dan tidak membebani suami lebih dari kemampuannya
Allah Ta’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ ذُو
سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا
آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ
اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah
menurut kemampuannya.Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah
kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath Tholaq: 7)
13)
Tidak menyakiti suami dan tidak membuatnya
marah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لاَ تُؤْذِي
امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُوْرِ
الْعِيْنِ : لاَ تُؤْذِيْهِ , قَاتَلَكِ اللهُ , فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكَ
دَخِيْلٌ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا
“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di
dunia melainkan istrinya dari kalangan bidadari akan berkata, “Janganlah engkau
menyakitinya.Semoga Allah memusuhimu. Dia (sang suami) hanyalah tamu di sisimu;
hampir saja ia akan meninggalkanmu menuju kepada kami”. (HR. Tirmidzi no. 1174
dan Ahmad 5: 242. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
14)
Berbuat baik kepada orang tua dan kerabat suami
15)
Terus ingin hidup bersama suami dan tidak
meminta untuk ditalak kecuali jika ada alasan yang benar
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
أَيُّمَا
امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ
عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ .
“Wanita mana saja yang meminta talak kepada
suaminya tanpa ada alasan (yang dibenarkan oleh syar’i), maka haram baginya
mencium wangi surga.” (HR. Tirmidzi no. 1199, Abu Daud no. 2209, Ibnu Majah no.
2055. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
16)
Berkabung ketika meninggalnya suami selama 4
bulan 10 hari
Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu
dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan
dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.Kemudian apabila telah habis
‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat
terhadap diri mereka menurut yang patut.Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat.” (QS. Al Baqarah: 234)
Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ
لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ
فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir
untuk berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas
kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari no.
5334 dan Muslim no. 1491)[2]
C.
Hak Istri yang Merupakan Kewajiban Suami
1.
Bergaul dengan istri dengan cara yang ma’ruf
(baik)
Yang dimaksud di sini adalah bergaul dengan
baik, tidak menyakiti, tidak menangguhkan hak istri padahal mampu, serta
menampakkan wajah manis dan ceria di hadapan istri.
Allah Ta’ala berfirman,
وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah dengan mereka dengan baik.”
(QS. An Nisa’: 19).
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS. Al Baqarah: 228).
Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
خَيْرُكُمْ
خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى
“Sebaik-baik kalian adalah yan berbuat baik
kepada keluarganya. Sedangkan aku adalah orang yang paling berbuat baik
pada keluargaku” (HR. Tirmidzi no. 3895, Ibnu Majah no. 1977, Ad Darimi 2: 212,
Ibnu Hibban 9: 484. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata
mengenai surat An Nisa’ ayat 19 di atas, “Berkatalah yang baik kepada istri
kalian, perbaguslah amalan dan tingkah laku kalian kepada istri. Berbuat
baiklah sebagai engkau suka jika istri kalian bertingkah laku demikian.”
(Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3: 400)
Berbuat ma’ruf adalah kalimat yang sifatnya
umum, tercakup di dalamnya seluruh hak istri. Nah, setelah ini akan kami
utarakan berbagai bentuk berbuat baik kepada istri. Penjelasan ini diperinci
satu demi satu agar lebih diperhatikan para suami.
2.
Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal
dengan baik
Yang dimaksud nafkah adalah harta yang
dikeluarkan oleh suami untuk istri dan anak-anaknya berupa makanana, pakaian,
tempat tinggal dan hal lainnya.Nafkah seperti ini adalah kewajiban suami
berdasarkan dalil Al Qur’an, hadits, ijma’ dan logika.
Dalil Al Qur’an,
Allah Ta’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ ذُو
سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا
آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah
menurut kemampuannya.Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.Allah tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath
Tholaq: 7).
وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada istrinya dengan cara ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 233).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Bapak dari si anak punya kewajiban dengan cara yang ma’ruf (baik) memberi
nafkah pada ibu si anak, termasuk pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud dengan
cara yang ma’ruf adalah dengan memperhatikan kebiasaan masyarakatnya tanpa
bersikap berlebih-lebihan dan tidak pula pelit. Hendaklah ia memberi nafkah
sesuai kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta bersikap pertengahan dan
hemat” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375).
فَاتَّقُوا
اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ
وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ
يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ
فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Bertakwalah kepada Allah pada (penunaian
hak-hak) para wanita, karena kalian
sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan
kemaluan mereka dengan kalimat Allah.Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak
boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai.Jika
mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti.
Kewajiban kalian bagi istri kalian adalah memberi mereka nafkah dan pakaian
dengan cara yang ma’ruf” (HR. Muslim no. 1218).
Dari Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu,
ia bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai
kewajiban suami pada istri, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
أَنْ
تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ –
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
“Engkau memberinya makan sebagaimana engkau
makan.Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau
usahakan-, dan engkau tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak
menjelek-jelekkannya serta tidak memboikotnya (dalam rangka nasehat) selain di
rumah” (HR. Abu Daud no. 2142.Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah
berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Dia tidak
memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku
mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
خُذِى مَا
يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi
kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).
Lalu berapa besar nafkah yang menjadi kewajiban
suami?
Disebutkan dalam ayat,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ
قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah
menurut kemampuannya.Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 7).
عَلَى
الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ
“Orang yang mampu menurut kemampuannya dan
orang yang miskin menurut kemampuannya (pula)” (QS. Al Baqarah: 236).
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada Hindun,
خُذِى مَا
يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi
kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa yang jadi
patokan dalam hal nafkah:
- Mencukupi istri dan anak dengan baik, ini berbeda tergantung keadaan, tempat dan zaman.
- Dilihat dari kemampuan suami, apakah ia termasuk orang yang dilapangkan dalam rizki ataukah tidak.
Termasuk dalam hal nafkah adalah untuk urusan
pakaian dan tempat tinggal bagi istri.Patokannya adalah dua hal yang disebutkan
di atas.
Mencari nafkah bagi suami adalah suatu
kewajiban dan jalan meraih pahala.Oleh karena itu, bersungguh-sungguhlah
menunaikan tugas yang mulia ini.
Masih ada beberapa hal terkait kewajiban suami
yang belum dibahas. Insya Allah akan berlanjut pada tulisan berikutnya.
3.
Meluangkan waktu untuk bercanda dengan istri
tercinta
Inilah yang dicontohkan oleh Nabi
kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang diceritakan oleh
istri beliau, ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha,
أَنَّهَا
كَانَتْ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ قَالَتْ فَسَابَقْتُهُ
فَسَبَقْتُهُ عَلَى رِجْلَىَّ فَلَمَّا حَمَلْتُ اللَّحْمَ سَابَقْتُهُ
فَسَبَقَنِى فَقَالَ « هَذِهِ بِتِلْكَ السَّبْقَةِ ».
Ia pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam safar. ‘Aisyah lantas berlomba lari bersama beliau dan ia
mengalahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Tatkala ‘Aisyah sudah
bertambah gemuk, ia berlomba lari lagi bersama Rasulshallallahu ‘alaihi wa
sallam, namun kala itu ia kalah. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ini balasan untuk kekalahanku dahulu.” (HR. Abu Daud no. 2578 dan Ahmad 6:
264. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).Nabishallallahu ‘alaihi
wa sallam masih menyempatkan diri untuk bermain dan bersenda gurau dengan
istrinya tercinta.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia
berkata,
رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم –
يَسْتُرُنِى بِرِدَائِهِ ، وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ يَلْعَبُونَ فِى
الْمَسْجِدِ ، حَتَّى أَكُونَ أَنَا الَّذِى أَسْأَمُ ، فَاقْدُرُوا قَدْرَ
الْجَارِيَةِ الْحَدِيثَةِ السِّنِّ الْحَرِيصَةِ عَلَى اللَّهْوِ
“Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
menutup-nutupi pandanganku dengan pakaiannya, sementara aku melihat ke arah
orang-orang Habasyah yang sedang bermain di dalam Masjid sampai aku sendirilah
yang merasa puas.Karenanya, sebisa mungkin kalian bisa seperti gadis belia yang
suka bercanda” (HR. Bukhari no. 5236 dan Muslim no. 892).Hadits ini menunjukkan
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bercanda sambil menutup-nutupi
pandangan istrinya yang ingin memandang seorang pemuda. Lihatlah candaan beliau
dan senda gurau kepada istrinya tercinta! Sebagai suami pernahkah kita seperti
itu?
4.
Menyempatkan waktu untuk mendengar curhatan
istri
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa duduk dan menyimak curhatan dan cerita
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, sampai pun kisah itu panjang.Di antara cerita
‘Aisyah pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikisahkan
dalam hadits yang lumayan panjang berikut ini.
عَنْ عَائِشَةَ
قَالَتْ جَلَسَ إِحْدَى عَشْرَةَ امْرَأَةً فَتَعَاهَدْنَ وَتَعَاقَدْنَ أَنْ لاَ
يَكْتُمْنَ مِنْ أَخْبَارِ أَزْوَاجِهِنَّ شَيْئًا
Sebelas orang wanita berkumpul lalu mereka
berjanji dan bersepakat untuk tidak menyembunyikan sedikit pun cerita tentang
suami mereka.
قَالَتِ
الأُوْلَى زَوْجِي لَحْمُ جَمَلٍ غَثٍّ عَلَى رَأْسِ جَبَلٍ لاَ سَهْلَ
فَيُرْتَقَى وَلاَ سَمِيْنَ فَيُنْتَقَلُ
Wanita pertama berkisah, “Sesungguhnya
suamiku adalah daging unta yang kurus yang berada di atas puncak gunung yang
tanahnya berlumpur yang tidak mudah untuk didaki dan dagingnya juga tidak
gemuk untuk diambil.
[Maksud
perkataan di atas: Si wanita memisalkan suaminya dengan daging yang kurus,
sedikit dagingnya. Lalu daging tersebut diletakkan di atas gunung yang terjal
yang sulit didaki.Daging unta berbeda dengan daging domba atau kambing yang
terasa lebih enak.Artinya, si istri ingin menyatakan sulitnya bergaul dengan
suaminya.Ia tidak mengerti bagaimana cara yang baik untuk berbicara dengan
suaminya karena suaminya buruk perangainya. Sudah dengan usaha keras, si istri
ingin berhubungan baik dengan suaminya, ia tidak bisa meraih dan
bersenang-senang dengannya.]
قَالَتْ
الثَانِيَةُ زَوْجِي لاَ أَبُثُّ خَبَرَهُ إِنِّي أَخَافُ أَنْ لاَ أَذَرَهُ إِنْ
أَذْكُرْهُ أَذْكُرْ عُجَرَهُ وَبُجَرَهُ
Wanita kedua berkisah, “Mengenai suamiku,
aku tidak akan menceritakannya karena jika aku berkisah tentangnya aku khawatir
aku (tidak mampu) meninggalkannya.Jika aku menyebutkan tentangnya maka aku akan
menyebutkan urat-uratnya yang muncul di tubuhnya dan juga perutnya”.
[Maksud
perkataan di atas: Ia mengisyaratkan bahwa suaminya itu penuh dengan ‘aib. Jika
diceritakan, ia khawatir tidak akan ada ujungnya kisah tentang suaminya karena
saking banyaknya ‘aib suaminya. Jika aibnya disebut maka akan nampak aib luar
seperti urat di badan dan dalam tubuhnya seperti urat di perut. Ada pula yang
menafsirkan, jika si istri menceritakan aib suaminya, maka ia khawatir akan
berpisah darinya. Karena jika sampai ketahuan, suaminya akan menceraikannya dan
ia khawatir karena masih ada anak dan hubungan dengan suaminya.]
قَالَتْ
الثَّالِثَةُ زَوْجِي الْعَشَنَّقُ إِنْ أَنْطِقْ أُطَلَّقْ وَإِنْ أَسْكُتْ
أُعَلَّقْ
Wanita ketiga berkisah, “Suamiku tinggi,
jika aku berucap maka aku akan dicerai, dan jika aku diam maka aku akan
tergantung”.
[Maksud
perkataan di atas: Ia memaksudkan suaminya adalah suami yang berperangai buruk
atau ada yang mengatakan bahwa suaminya itu egois (mementingkan diri sendiri).
Ia mengetahui jika ia mengeluh kepada suaminya maka sang suami langsung
menceraikannya. Namun jika ia berdiam diri maka ia akan tersiksa karena seperti
wanita yang tidak bersuami padahal ia bersuami.]
قَالَتِ
الرَّابِعَةُ زَوْجِي كَلَيْلِ تِهَامَةَ لاَ حَرَّ وَلاَ قَرَّ وَلاَ مَخَافَةَ
وَلاَ سَآمَةَ
Wanita keempat berkisah, “Suamiku seperti
malam di Tihamah, tidak panas dan tidak dingin, tidak ada ketakutan dan tidak
ada rasa bosan”.
[Maksud
perkataan di atas: Tihamah adalah suatu daerah yang ma’ruf. Malam di sana
seimbang (tidak panas dan tidak dingin), cuacanya bagus dan bersahabat. Jadi si
wanita menyifati suaminya yang pelembut dan berperangai baik.Si wanita selalu
tentram, tidak penuh kekhawatiran ketika berada di sisi suaminya.Suaminya tidak
ada rasa bosan dengannya.Istrinya merasakan keadaannya di sisi suaminya seperti
keadaan penduduk Tihamah, suaminya menikmati hubungan dengannya seperti
kenikmatan di Tihamah yang tidak panas dan tidak dingin serta dalam cuaca yang
bersahabat.]
قَالَتِ
الْخَامِسَةُ زَوْجِي إِنْ دَخَلَ فَهِدَ وَإِنْ خَرَجَ أَسِدَ وَلاَ يَسْأَلُ
عَمَّا عَهِدَ
Wanita kelima berkisah, “Suamiku jika
masuk rumah seperti macan dan jika keluar maka seperti singa dan tidak bertanya
apa yang telah diperbuatnya (yang didapatinya)”.
[Maksud
perkataan di atas: Cerita si wanita bisa jadi sebuah pujian, bisa jadi suatu
celaan. Apabila yang dimaksud adalah pujian, maka ada beberapa
tafsiran.Tafsiran pertama, suaminya disifatkan seperti macan karena biasa
menundukkan dan menjima’ istrinya.Aritnya, istrinya begitu disayangi sampai si
suami tidak kuat tatkala memandangnya. Jika keluar dari rumah, ia adalah
seorang yang gagah seperti singa. Jika datang, ia biasa membawa makanan,
minuman dan pakaian, jangan ditanya di mana ia memperolehnya. Tafsiran kedua,
masih sebagai pujian. Jika ia memasuki rumah, seperti macan, yaitu ia tidak
pernah mengomentari apa yang terjadi di rumah, adakah yang cacat, dan tidak
banyak komentar. Jika ia keluar dari rumah, ia begitu perkasa seperti singa. Ia
tidak banyak bertanya apa yang terjadi. Maksudnya adalah si suami begitu bergaul
dengan istri meskipun ia melihat kekurangan yang nampak pada istrinya.
Adapun jika maksud perkataan si wanita adalah
celaan, dapat ditafsirkan ia mensifati suaminya ketika suaminya masuk ke dalam
rumah seperti macan, yaitu bersikap kasar, tidak ada muqoddimah atau
ancang-ancang sebelum hubungan intim. Juga ia memaksudkan bahwa suaminya
memiliki perangai buruk, sering menyiksa dan memukulnya tanpa bertanya padanya.
Jika suaminya keluar dan istrinya dalam keadaan sakit lalu ia kembali, tidak
ada perhatiannya padanya dan anak-anaknya.]
قَالَتِ
السَّادِسَةُ زَوْجِي إِنْ أَكَلَ لَفَّ وَإِنْ شَرِبَ اشْتَفَّ وَإِنِ اضْطَجَعَ
الْتَفَّ وَلاَ يُوْلِجُ الْكَفَّ لِيَعْلَمَ الْبَثَّ
Wanita keenam berkisah, “Suamiku jika
makan maka banyak menunya dan tidak ada sisanya, jika minum maka tidak tersisa,
jika berbaring maka tidur sendiri sambil berselimutan, dan tidak mengulurkan
tangannya untuk mengetahui kondisiku yang sedih”.
[Maksud
perkataan di atas: Ia mensifati suaminya yang biasa menyantap makanan apa saja
dan banyak minum. Jika ia tidur, ia sering menjauh dari istrinya dan tidur
sendirian. Ia pun tidak berusaha mengetahui keadaan istrinya yang sedih.
Intinya, ia menyifati suaminya dengan banyak makan dan minum, serta sedikit
jima’ (berhubungan intim).Ini menunjukkan celaan.]
قَالَتِ
السَّابِعَةُ زَوْجِي غَيَايَاءُ أَوْ عَيَايَاءُ طَبَاقَاءُ كُلُّ دَاءٍ لَهُ
دَاءٌ شَجَّكِ أَوْ فَلَّكِ أَوْ جَمَعَ كُلاًّ لَكِ
Wanita ketujuh berkisah, “Suamiku bodoh
yang tidak pandai berjimak, semua penyakit (aib) dia miliki, dia melukai
kepalamu, melukai badanmu, atau mengumpulkan seluruhnya untukmu”.
[Maksud
perkataan di atas: Ia menjelaskan bahwa suaminya tidak kuat berhubungan intim
dengan istrinya. Jika ia berbicara, ia biasa menyakiti kepala. Jika ia
berhubungan intim, ia biasa memukul kepala dan melukai jasad.]
قَالَتِ
الثَّامِنَةُ زَوْجِي الْمَسُّ مَسُّ أَرْنَبَ وَالرِّيْحُ رِيْحُ زَرْنَبَ
Wanita kedelapan berkisah, “Suamiku
sentuhannya seperti sentuhan kelinci dan baunya seperti bau zarnab (tumbuhan
yang baunya harum)”.
[Maksud
perkataan di atas: Suaminya selalu bersikap lemah lembut dan bersikap baik pada
istrinya.]
قَالَتِ
التَّاسِعَةُ زَوْجِي رَفِيْعُ الْعِمَادِ طَوِيْلُ النِّجَادِ عَظِيْمُ
الرَّمَادِ قَرِيْبُ الْبَيْتِ مِنَ النَادِ
Wanita kesembilan berkisah, “Suamiku
tinggi tiang rumahnya, panjang sarung pedangnya, banyak abunya, dan rumahnya
dekat dengan bangsal (tempat pertemuan)”.
[Maksud
perkataan di atas: Suaminya itu termasuk orang terpandang, banyak tamu yang
mengunjunginya sehingga ia pun biasa menyembelih hewan untuk menyambut tamunya.
Ia pun dianggap mulia oleh keluarganya. Suamiya pun biasa didatangi oleh
orang-orang yang ingin curhat berbagai masalah dan persoalan mereka.Ia terkenal
dengan sifatnya yang mulia, orang yang terpandangan, berakhlak mulia dan
memiliki pergaulan yang baik dengan sesama]
قَالَتِ
الْعَاشِرَةُ زَوْجِي مَالِكٌ وَمَا مَالِكٌ؟ مَاِلكُ خَيْر مِنْ ذَلِكَ لَهُ
إِبِلٌ كَثِيْرَاتُ الْمَبَارِكِ قَلِيْلاَتُ الْمَسَارِحِ، وَإِذَا سَمِعْنَ
صَوْتَ الْمُزْهِرِ أَيْقَنَّ أَنَهُنَّ هَوَالِكُ
Wanita kesepuluh berkisah, “Suamiku
(namanya) adalah Malik, dan siapakah gerangan si Malik? Malik
adalah lebih baik dari pujian yang disebutkan tentangnya. Ia memiliki unta yang
banyak kandangnya dan sedikit tempat gembalanya, dan jika unta-unta tersebut
mendengar kayu dari tukang jagal maka unta-unta tersebut yakin bahwa mereka
akan disembelih.”
[Maksud
perkataan di atas: Suaminya memiliki banyak unta sebagai persiapan untuk
menyambut tamu. Artinya, suaminya memiliki akhlak mulia, ia sering memuliakan
para tamu dengan pemuliaan yang luar biasa].
قَالَتِ
الْحَادِيَةَ عَشْرَةَ زَوْجِي أَبُوْ زَرْعٍ فَمَا أَبُوْ زَرْعٍ؟ أَنَاسَ مِنْ
حُلِيٍّ أُذُنَيَّ وَمَلَأَ مِنْ شَحْمِ عَضُدَيَّ وَبَجَّحَنِي فَبَجَحْتُ إِلَى
نَفْسِي
Wanita kesebelas berkisah, “Suamiku adalah
Abu Zar’.Siapa gerangan Abu Zar’?Dialah yang telah memberatkan telingaku dengan
perhiasan dan telah memenuhi lemak di lengan atas tanganku dan menyenangkan
aku, maka aku pun gembira.”
[Maksud
perkataan di atas: Maksudnya yaitu suaminya Abu Zar’ memberikannya perhiasan
yang banyak dan memperhatikan dirinya serta menjadikan tubuhnya padat
(montok).Karena jika lengan atasnya padat maka tandanya tubuhnya semuanya
padat.Hal ini menjadikannya gembira.Merupakan sifat suami yang baik adalah
menghiasi dan mempercantik istrinya dengan perhiasan dan memberikan kepada
istrinya makanan pilihan. Sesungguhnya hal ini menjadikan sang istri menjadi
sangat mencintai suaminya karena merasakan perhatian suaminya dan sayangnya
suaminya kepadanya. Para wanita sangat suka kepada perhiasan emas, dan ini
merupakan hadiah yang paling baik yang diberikan kepada wanita.Tubuh yang
berisi padat (tidak kurus dan tidak gemuk) merupakan sifat kecantikan seorang
wanita.]
. وَجَدَنِي فِي أَهْلِ
غُنَيْمَةٍ بِشِقٍ فَجَعَلَنِي فِي أَهْلِ صَهِيْلٍ وَأَطِيْطٍ وَدَائِسٍ
وَمَنَقٍ، فَعِنْدَهُ أَقُوْلُ فَلاَ أُقَبَّحُ وَأَرْقُدُ فَأَتَصَبَّحُ
وَأَشْرَبُ فَأَتَقَنَّحُ
Ia mendapatiku pada peternak kambing-kambing
kecil dalam kehidupan yang sulit, lalu ia pun menjadikan aku di tempat para
pemilik kuda dan unta, penghalus makanan dan suara-suara hewan ternak. Di
sisinya aku berbicara dan aku tidak dijelek-jelekan, aku dibiarkan tidur di
pagi hari, aku minum hingga aku puas dan tidak pingin minum lagi.
[Maksud
perkataan di atas: Maksudnya yaitu Abu Zar’ mendapatinya dari keluarga yang
menggembalakan kambing-kambing kecil yang menunjukan keluarga tersebut kurang
mampu dan menjalani hidup dengan susah payah. Lalu Abu Zar’ memindahkannya ke
kehidupan keluarga yang
mewah yang makanan mereka adalah makanan pilihan yang dihaluskan.Mereka
memiliki kuda-kuda dan onta-onta serta hewan-hewan ternak lainnya.Jika ia
berbicara di hadapan suaminya maka suaminya Abu Zar’ tidak pernah membantahnya
dan tidak pernah menghinakan atau menjelekkannya karena mulianya suaminya
tersebut dan sayangnya pada dirinya.Ia tidur di pagi hari dan tidak dibangunkan
karena sudah ada pembantu yang mengurus urusan rumah. Ia minum hingga puas
sekali dan tidak ingin minum lagi yaitu suaminya telah memberikannya berbagai
macam minuman seperti susu, jus anggur, dan yang lainnya. Merupakan sifat suami
yang baik adalah membantu istrinya diantaranya dengan mendatangkan pembantu
yang bisa membantu tugas-tugas rumah tangga istrinya.]
. أُمُّ أَبِي زَرْعٍ،
فَمَا أُمُّ أَبِي زَرْعٍ ؟ عُكُوْمُهَا رِدَاحٌ وَبَيْتُهَا فَسَاحٌ
ابْنُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا ابْنُ أَبِي زَرْعٍ؟ مَضْجَعُهُ كَمَسَلِّ شَطْبَةٍ وَيُشْبِعُهُ ذِرَاعُ الْجَفْرَةِ بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ؟ طُوْعُ أَبِيْهَا وَطُوْعُ أُمِّهَا وَمِلْءُ كِسَائِهَا وَغَيْظُ جَارَتِهَا جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ؟ لاَ تَبُثُّ حَدِيْثَنَا تَبْثِيْثًا وَلاَ تُنَقِّثُ مِيْرَتَنَا تَنْقِيْثًا وَلاَ تَمْلَأُ بَيْتَنَا تَعْشِيْشًا
ابْنُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا ابْنُ أَبِي زَرْعٍ؟ مَضْجَعُهُ كَمَسَلِّ شَطْبَةٍ وَيُشْبِعُهُ ذِرَاعُ الْجَفْرَةِ بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ؟ طُوْعُ أَبِيْهَا وَطُوْعُ أُمِّهَا وَمِلْءُ كِسَائِهَا وَغَيْظُ جَارَتِهَا جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ؟ لاَ تَبُثُّ حَدِيْثَنَا تَبْثِيْثًا وَلاَ تُنَقِّثُ مِيْرَتَنَا تَنْقِيْثًا وَلاَ تَمْلَأُ بَيْتَنَا تَعْشِيْشًا
Ibu Abu Zar’. Siapakah gerangan Ibu Abu Zar’?,
yang mengumpulkan perabotan rumah, dan memiliki rumah yang luas.
[Maksud
perkataan di atas: Ibu suaminya adalah wanita yang kaya raya yang memiliki
banyak perabot rumah tangga didukung dengan rumahnya yang besar dan luas. Hal
ini menunjukan bahwa sang ibu adalah orang yang sangat baik yang selalu
memuliakan tamu-tamunya. Di antara sifat istri yang sholehah hendaknya ia
menghormati ibu suaminya dan memahami bahwa ibu suaminyalah yang telah
melahirkan suaminya yang telah banyak berbuat baik kepadanya. Kemudian hendaknya
tidak ada permusuhan antara seorang istri yang sholehah dan ibu suaminya. Dan
sesungguhnya tidak perlu adanya permusuhan karena pada hakekatnya tidak ada
motivasi yang mendorong pada hal itu jika keduanya menyadari bahwa
masing-masing memiliki hak-hak khusus yang berbeda yang harus ditunaikan oleh
sang suami.]
ابْنُ أَبِي
زَرْعٍ، فَمَا ابْنُ أَبِي زَرْعٍ؟ مَضْجَعُهُ كَمَسَلِّ شَطْبَةٍ وَيُشْبِعُهُ
ذِرَاعُ الْجَفْرَةِ
Putra Abu Zar’, siapakah gerangan dia? Tempat
tidurnya adalah pedang yang terhunus keluar dari sarungnya, ia sudah kenyang
jika memakan lengan anak kambing betina.
[Maksud
perkataan di atas: Putra suaminya adalah anak yang gagah dan tampan serta
pemberani, tidak gemuk karena sedikit makannya, tidak kaku dan lembut, namun
sering membawa alat perang dan gagah tatkala berperang.]
بِنْتُ أَبِي
زَرْعٍ، فَمَا بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ؟ طُوْعُ أَبِيْهَا وَطُوْعُ أُمِّهَا وَمِلْءُ
كِسَائِهَا وَغَيْظُ جَارَتِهَا
Putri Abu Zar’, siapakah gerangan dia? Taat
kepada ayahnya dan ibunya, tubuhnya segar montok, membuat madunya marah
kepadanya.
[Maksud
perkataan di atas: Ia adalah seorang putri yang berbakti kepada kedua orang
tuanya sehingga menjadikannya adalah buah hati kedua orangtuanya. Ia seorang
putri yang cantik dan disenangi suaminya hingga menjadikan istri suaminya yang
lain cemburu dan marah kepadanya karena kecantikannya tersebut.]
جَارِيَةُ أَبِي
زَرْعٍ، فَمَا جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ؟ لاَ تَبُثُّ حَدِيْثَنَا تَبْثِيْثًا وَلاَ
تُنَقِّثُ مِيْرَتَنَا تَنْقِيْثًا وَلاَ تَمْلَأُ بَيْتَنَا تَعْشِيْشًا
Budak wanita Abu Zar’, siapakah gerangan dia?Ia
menyembunyikan rahasia-rahasia kami dan tidak menyebarkannya, tidak merusak
makanan yang kami datangkan dan tidak membawa lari makanan tersebut, serta
tidak mengumpulkan kotoran di rumah kami.
[Maksud
perkataan di atas: Budak wanita tersebut adalah orang yang terpercaya bisa
menjaga rahasia dan amanah. Seluruh kejadian atau pembicaraan yang terjadi di
dalam rumah tidak tersebar keluar rumah.Ia sangat jauh dari sifat khianat dan
sifat mencuri. Dia juga pandai menjaga diri sehingga jauh dari tuduhan tuduhan
sehingga ia tidak membawa kotoran (tuduhan-tuduhan jelek) dalam rumah kami.]
قَالَتْ خَرَجَ
أَبُو زَرْعٍ وَالأَوْطَابُ تُمَخَّضُ فَلَقِيَ امْرَأَةً مَعَهَا وَلَدَانِ لَهَا
كَالْفَهْدَيْنِ يَلْعَبَانِ مِنْ تَحْتِ خِصْرِهَا بِرُمَّانَتَيْنِ فَطَلَّقَنِي
وَنَكَحَهَا
Keluarlah Abu Zar’ pada saat tempat-tempat
dituangkannya susu sedang digoyang-goyang agar keluar sari susunya, maka
ia pun bertemu dengan seorang wanita bersama dua orang anaknya seperti dua ekor
macan. Mereka berdua sedang bermain di dekatnya dengan dua buah delima.Maka
iapun lalu menceraikanku dan menikahi wanita tersebut.
[Maksud
perkataan di atas: Abu Zar’ suatu saat keluar di pagi hari pada waktu para
pembantu dan para budak sedang sibuk bekerja dan diantara mereka ada yang
sedang menggoyang-goyangkan (mengocok-ngocok) susu agar keluar sari susu
tersebut. Kemudian ia bertemu dengan seorang wanita yang memiliki dua orang
anak yang menunjukan bahwa wanita tersebut adalah wanita yang subur. Hal ini
merupakan sebab tertariknya Abu Zar’ untuk menikahi wanita tersebut, karena
orang Arab senang dengan wanita yang subur untuk memperbanyak keturunan. Dan
sang wanita memiliki dua anak yang masih kecil-kecil yang menunjukan bahwa
wanita tersebut masih muda belia. Akhirnya Abu Zar’pun menikahi wanita tersebut
dan mencerai Ummu Zar’]
فَنَكَحْتُ بَعْدَهُ رَجُلاً سَرِيًا رَكِبَ
شَرِيًّا وَأَخَذَ خَطِّيًّا وَأَرَاحَ عَلَيَّ نَعَمًا ثَرِيًا وَأَعْطَانِي مِنْ
كُلِّ رَائِحَةٍ زَوْجًا وَقَالَ كُلِي أُمَّ زَرْعٍ وَمِيْرِي أَهْلَكِ قَالَتْ
فَلَوْ جَمَعْتُ كُلَّ شَيْءٍ أَعْطَانِيْهِ مَا بَلَغَ أَصْغَرَ آنِيَةِ أَبِي
زَرْعٍ
Setelah itu aku pun menikahi seoerang pria yang
terkemuka yang menunggang kuda pilihan balap. Ia mengambil tombak khotthi
lalu membawa tombak tersebut untuk berperang dan membawa ghonimah
berupa onta yang banyak sekali. Ia memberiku sepasang hewan dari hewan-hewan
yang disembelih dan berkata, “Makanlah wahai Ummu Zar’ dan berkunjunglah ke
keluargamu dengan membawa makanan”. Kalau seandainya aku mengumpulkan semua
yang diberikan olehnya maka tidak akan mencapai belanga terkecil Abu Zar’.
[Maksud perkataan di atas: Ummu Zar’ setelah
itu menikahi seorang pria yang gagah perkasa yang sangat baik kepadanya hingga
memberikannya makanan yang banyak, demikian juga pemberian-pemberian yang
lain, bahkan ia memerintahkannya untuk membawa pemberian-pemberian tersebut
kepada keluarga Ummu
Zar’. Namun meskipun demikian Ummu Zar’ kurang merasa bahagia dan selalu ingat
kepada Abu Zar’.
Yang membedakan antara Abu Zar’ dan suaminya
yang kedua adalah Abu Zar’ selalu berusaha mengambil hati istrinya, ia tidak
hanya memenuhi kebutuhan istrinya akan tetapi kelembutannya dan kasih
sayangnyalah yang telah memikat hati istrtinya. Ditambah lagi Abu Zar’ adalah
suami pertama dari sang wanita.]
قَالَتْ
عَائِشَةُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم كُنْتُ لَكِ كَأِبي زَرْعٍ
لِأُمِّ زَرْعٍ
‘Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata, “Aku bagimu seperti Abu Zar’ bagi Ummu Zar’.
Dalam riwayat lain Aisyah berkata
يَا رَسُوْلَ
اللهِ بَلْ أَنْتَ خَيْرٌ إِلَيَّ مِنْ أَبِي زَرْعٍ
“Wahai Rasulullah, bahkan engkau lebih baik
kepadaku dari pada Abu Zar’” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubro 5: 358, no.
9139)
Kisah yang panjang di atas menunjukkan
tipe-tipe suami, ada yang berakhlak mulia yang patut kita tiru dan ada yang
perangangainya buruk yang harus kita jauhi.
Kisah ini juga menunjukan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang selalu
sayang dan perhatian kepada Aisyah. Berbeda dengan sebagian suami yang kasih
sayangnya kepada istrinya hanya pada waktu-waktu tertentu saja, dan pada
waktu-waktu yang lain tidak demikian. Kisah ini juga mengandung pelajaran bahwa
sebaiknya suami berusaha untuk memperhatikan dan menyimak curhatan istrinya,
meskipun agak lama seperti dalam kisah ini.
Prof. Dr. H.M.A Tihami,
M.A., M.M , Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H.
Fiqh Munakahat (kajian Fiqh Nikah Lengkap). Jakarta: Rajawali Pers, 2010,
cet. ke-2.
bagus kak,sangat membantu
BalasHapus