PRINSIP KETUHANAN, KEMANUSIAAN, DAN KEADILAN DALAM HUKUM
PENYELENGGARAAN NEGARA
Disusun Guna
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Politik Hukum Islam
di Indonesia
Dosen Pembimbing: Drs. H. M. ILYAS UMAR, M.HUM
Disusun
Oleh :
USMAN PALA
STB.
051 2013 0004
JURUSAN SYARIAH HUKUM KELUARGA (AHWAL AL-SYAKHSIYYAH)
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2015
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Segala
puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak akan
sanggup menyelesaikannya dengan baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan
kepada baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW. Makalah ini
disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang " PRINSIP
KETUHANAN, KEMANUSIAAN, DAN KEADILAN DALAM HUKUM PENYELENGGARAAN NEGARA", yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber.
Makalah ini di
susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri
penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan
terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini
memuat tentang “PRINSIP KETUHANAN, KEMANUSIAAN, DAN KEADILAN DALAM
HUKUM PENYELENGGARAAN NEGARA.
Walaupun makalah ini kurang sempurna dan memerlukan
perbaikan tapi juga memiliki detail yang cukup jelas bagi pembaca. Semoga makalah
ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun
makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun membutuhkan kritik dan
saran dari pembaca yang membangun. Terima kasih.
Penyusun
(USMAN PALA)
I
PENDAHULUAN
I. Latar
Belakang
Suatu
kenyataan yang sosio historis bahwa masalah yang pertama-tama muncul dalam
Islam sepeninggal Nabi Muhammad SAW bukanlah masalah teologi, melainkan justru
masalah politik, meskipun pada akhirnya persoalan politik ini menjelma menjadi
persoalan teologis. Problem mengenai politik dalam Islam ini seperti dilukiskan
oleh Al-Syahrastani (479-548) sebagai pertentangan paling besar (Al-fitnah al kubra) dikalangan umat
Islam.
Salah satu
persoalan yang menjadi wacana dimasa lalu hingga masa kini yaitu yang terkait
antara agama dengan negara. Ada yang mengatakan bahwa agama hanya berurusan
dengan kehidupan spiritual saja, tanpa ada pengaruhnya dalam persoalan
masyarakat dan negara.
Terlepas
dari persoalan itu sesunggugnya agama dengan
negara ada kaitannya meskipun negara hanyalah sebagai alat bagi agama bukan
suatu ekstensi dari agama.
II.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana Prinsip
Ketuhanan di Indonesia dalam Penyelengaraan Negara...?
2. Bagaimana PrinsipKemanusiaan
yang Adil dan Beradab dalam Penyelengaraan Negara...?
II
PEMBAHASAN
A.
Prinsip Ketuhanan
1. Cita
Ketuhanan dan Demokrasi
Sejarah
ketatanegaraan dimasa lalu telah mengajarkan kepada kita bahwa umat manusia
tidak pernah berhenti memikirkan hubungan antara prinsip ketuhanan dengan
persoalan kenegaraan. Seperti dalam sejarah bangsa-bangsa Eropa yang
beranggapan bahwa tuhan diwujudkan dalam diri raja, sehingga pengertian
kedaulatan raja dam kedaulatan tuhan berhimpit satu sama lain, yang kemudian
dikenal sebagai konsep teokrasi. Raja berkuasa sangat absolut.
Dalam sistem
teokrasi yang absolut demikian,
akal dan kebebasan manusia terkungkung secara ketat. Oleh karena itu dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan yang terus meningkat dari waktu ke waktu muncul
reaksi untuk mengatasi dominasi penguasa yang mengatasnamakan tuhan yang
absolut tersebut. Reaksi masyarakat absolut itulah yang kemudian melahirkan
gerakan sekulerisme.
Salah satu
kesimpulan yang dapat dicatat dari pengalaman sejarah ialah bahwa wilayah
kehidupan keagamaan dan wilayah kenegaraan memang dapat dan mudah dibedakan
satu sama lain, tetapi tidak bgitu mudah dipisahkan satu sama lain secara ketat
dan kaku. Dalam sejarah dunia Islam, termasuk juga Islam di indonesia, konsep raja-raja
atau raja pendeta juga ada yaitu ketika konsep khalifah ar Rasul yang rasional dan demokratis dimanipulasikan
maknanya sehingga tunduk pada warisan sistem feodal tradisi kerajaan yang
bersifat turun menurun.
Ketika
perkataan khalifah Ar Rasul sebagai
konsep politik disalah pahami dan dicampur
adukan pengertiannya dengan perkataan khalifah Allah sebagai khalifah filosofis. Khalifah ar rasul adalah pengganti
rasul setelah nabi meninggal dunia. Sedangkan khalifah Allah artinya konsep yang berkenaan dengan kedudukan
setiap individu manusia sebagai pengganti atau bayangan tuhan di muka bumi,
karena diidentikan dengan khalifah Allah, maka para penguasa yang menyandang
predikat sebagai khalifah menganggap dirinya sebagai wakil tuhan untuk memimpin
negara. Padahal konsep-konsep kemaha esaan tuhan (tuhan sebagai pemegang
kedaulatan/kekuasaan tertinggi), konsep kemufakatan dan konsep musyawarah
merupakan prinsip-prinsip pokok yang sangat penting dalam sistem moral dan
sosial seperti yang sudah dicontohkan oleh empat khalifah pertama (Al Khulafau Rasyidin) yang
diselewengkan menjadi sistem keturunan.
Dalam
dinamika kekuasaan dengan konsep-konsep kepemimpinan raja-dewa, raja-pendeta,
raja-nabi dan khalifah ar rasul ataupun khalifatullah
yang disalah artikan tersebut diatas kurang lebih sama saja pada hakikatnya
sama-sama bersifat teokratis seperti yang pernah dialami oleh bangsa Eropa yang pernah diatasi dengan
konsep sekulerisme dalam sejarah Barat, namun terlepas dari perdebatan mengenai
soal sekularisme itu, bangsa Indonesia justru menganut paham kedaulatan Tuhan
Yang Maha Esa sekaligus dengan paham kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum
dalam satu kesatuan sistem konstitusional yang moderen. Bangsa indonesia
mewujudkan paham kedaulatan itu dalam konsep kedaulatan rakyat dan kedaulatan
hukum.
Pandangan
demikian kiranya lebih sesuai dengan prinsip tauhid menurut ajaran agama Islam
yang dianut oleh sebagian besar warga negara Indonesia, dan sejalan pula dengan
prinsip ke-Tuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama pancasila. Dalam ajaran
tauhid, tuhan dipahami sebagai Dzat Yang maha Esa, tidak ada contoh yang
menyamainya dalam kehidupan Ia dzat yang suci dan mutlak. Karena itu diyakini
hanya Allah sajalah yang bersifat maha kuasa sedangkan makhluknya relatif dan nisbi
serta lemah dan tidak berkuasa. Semua manusia sama kedudukannya diantara sesama
semuanya lemah, tetapi sekaligus semuanya sama-sama kuat karena dianugerahi
oleh Allah sebagai Khalifatullah fil
ardh.
Oleh sebab
itu, adanya keyakinan bahwa Allah maha kuasa menyebabkan berkembangnya dokotrin
persamaan manusia/paham egalitirianisme dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam
andangan tauhid setiap manusia adalah khalifah Allah, maka setiap orang kata
Nabi adalah pemimpin yang mempunyai tanggung jawab dibidangnya masing-masing
seperti yang tertuang dalam hadits berikut :
عن ابن عمر رضي الله عنهماان
رسول الله ص م يقول كلكم ر اع وكلكم منسول عن رعىته الاءمام راع ومنسول عن رعيته
وا لرجل راع في اهله وهو منسول عن رعيته والمرءة راعيته في بىت زوجها ومنسولة عن
رعيتها والخادم راع في ما ل سيد ه ومنسول عن رعيته وكلكم راع ومنسول عنرعيته
Artinya: Dari Umar R.A sesungguhnya Rasul bersabda: kalian adalah pemimpin
yang akan diminta pertanggung jawaban. Penguasa adalah pemimpin dan akan
dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya, suami adalah pemimpin
keluarganya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya, istri
adalah pemimpin di rumah suaminya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas
kepemimpinannya, pelayan adalah pemimpin dalam mengelolaharta tuannya dan akan
dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.
Dengan
demikan sistem konstitusional Indonesia adalah paham kedaulatan rakyat dan
sekaligus kedaulatan hukum.
2. Hukum dan
Persoalan Syariat Islam
Prinsip
Ketuhanan Yang maha Esa, pertama-tama dirumuskan sebagai sebagai salah satu
dasar kenegaraan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam kalimat
pembukaan itu dinyatakan “.....berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” awaknya
berasal dari perkataan “...dengan kewajiban menjalankan syari’at Islambagi
pemeluk-pemeluknya”. Dalam rumusan piagam Jakarta. Perubahan dalam rumusan tersebut kemudian diadopsikan sebagai
rumusan naskah pembukan Undang-Undang Dasar 1945 dengan mencoret tujuh kata
tersebut diatas. Kaerna hal itu menyebabkan perdebatan dan kesalahpahaman
dikalangan rakyat Indonesia yang memeluk agama berbeda-beda.
Dikalangan
masyarakat luas sekurang-kurangnya ada tiga kelompok pendapat mengenai soal ini.
Pertama, kelompok
yang berpendapat bahwa pencoretan itu terjadi karena pertimbangan untuk
memelihara persatuan diantara sesama warga bangsa yang menganut berbeda-beda
agama. Pandangan kelompok ini cenderung bersifat sangat pragmatis dan berusaha
untuk tidak hitam putih dalam memahami permasalahan.
Kedua., kelompok
yang berpendapat bahwa pemberlakuan syari,at Islam dikalangan masyarakat yang
mayoritas penduduknya menganut agama Islam merupakan kewajiban yang mutlak
sifatnya. Kelompok yang kedua ini cenderung sangat idealis dan bahkan cenderung
memandang persoalannya dari sudut pandang ideologi.
Ketiga, kelompok
yang berpendapat lebih realistis. Syariat Islam itu memang harus dan wajib
diberlakukan dan bahkan sesungguhny ia memang berlaku sampai kapanpun
dikalangan umat islam. Kedudukan
syari’at Islam tidaklah perlu diperjuangkan lagi secara politik, karena dengan
sendirinya sudah berlaku seiring dengan dianutnya ajaran Islam oleh sebagian
besar penduduk Indonesia.
Kesimpulannya
ketentuan dari tujuh kata itu, sama sekali tidak berarti Indonesia telah
terbentuk negara Islam dengan Piagam Jakarta. Karena dasar negara Islam telah
ditolak, maka dengan tujuh kata itu hanya dapat diartikan bahwa hukum Islam
berlaku bagi pemeluk-pemeluk Islam sebagaimana halnya poitik hukun Hindia
Belanda sebelum tahun 1929. Salah paham yang kemuidian terjadi sebenarnya tidak
perlu dengan menghapuskan ketuuh kata dalam Piagam Jakarta itu, tetapi cukup
dengan mengubahnya dengan tujuh kata baru yang berbunyi “....dengan kewajiban
menjalankan ketentuan agama bagi pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan baru itu
berarti bahwa pemeluk agama Islam wajib menjalakan hukum Islam, pemeluk agama
kristen wajib menjalankan hukum kristen, pemeluk agama Hindu wajib menjalankan
Hukum Hindu, dan pemeluk agama Budha wajib menjalankan hukum Budha.
B.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
1. Hak dan
Kewajiban Asasi Manusia
Ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia telah mendapatkan jaminan
konstitusional yang sangat kuat dalam Undang-Undang Dasar. Berikut ini materi
dari rumusan Undang-Undang Dasar yang telah disahkan sebelumnya, yaitu
Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia :
1) Setiap orang
berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
2) Setiap orang
berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah.
3) Setiap orang
berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara
layak.
4) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat deskriminatif atas
dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu.
5) . Setiap
orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih tmpat tinggal diwilyah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
6) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran
dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.
7) Setiap orang
berhak untuk berkumpul, berserikat dan mengeluarkan
pendapat.
8) Setiap orang
berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta setiap orang berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.
9) Setiap orang
berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak
miliknya serta Setiap orang
berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
10) Setiap orang berhak untuk bebas dari
penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi,
merendahkan derajat martabat
kemanusiaannya dan berhak memperoleh suaka politik I dari negara lain.
11) Setiap warga negara berhak atas
jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan
pribadinya secara utuh.
Untuk
mengimbangi adanya hak asasi manusia diperlukan juga adnya kewajiban yang harus
ditanggung oleh setiap warga negara Indonesia, diantaranya adalah:
1) Setiap orang
wajib menghormati hak asasi manusia orng lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2) Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan
yang ditetapkan oleh UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan
keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas dan kesusilaan, keamanan
dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.
3) Negara bertanggung
jawab atas perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak-hak asasi
manusia.
Keseimbangan kesadaran akan adanya hak dan kewajiban asasi ini merupakan
ciri penting pandangan dasar bangsa Indonesia mengenai manusia dan kemanusiaan
yang adil dan beradab.
2. Keadilan dan Keadaban
Dalam
rumusan sila kedua Pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab, prinsip
kemanusiaan yang dianggap ideal adalah kemanusiaan yang adil yang langsung
dirangkaikan dengan kata beradab, karena sifat adil itu merupakan sifat
ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Qs. Al Baqarah:11,193,251).
Secara
empirik keadilan juga sangat berdekatan dengan keadaban (civility) sifat berkeadilan dan
berkeadaban merupakan konsekuensi logis dari tingginya kualitas ketakwaan suatu
masyarakat. Peradaban tidak mungkin tumbuh
dalam struktur sosial yang tidak berkeadilan. Begitu juga tidak akan ada
keadilan jika peradaban dalam kehidupan masyarakat dan berbangsa tidak
berkembang. Oleh karena itu, dalam upaya membangun peradaban bangsa yang tinggi
dan bermartabat, penting untuk menegakkan keadilan dalam kehidupan berbangsa
dan bermasyarakat.
Kaitannya dengan hukum keadilan merupakan konsekuensi sistem hukum di
Indonesia menganut paham legal realism-plus atau Rechtsvinding-plus, adalah adanya
keharusan setiap hakim untuk mengedepankan terwujudnya keadilan masyarakat.
Sebagai pemberi putusan yang pertanggung jawaban utamanya kepada Tuhan Yang
Maha Esa, kemudian juga kepada bangsa dan negara, hakim disamping juga harus
behati-hati juga hendaknya mengedepankan dan berorientasi pada kepentingan
umat, bukan untuk kepentinan perorangan.
Tuntutan keadilan dalam sistem hukum Indonesia diatas merupakan tuntutan
keadilan masyarakat dapat dibaca didalam penjelasan bahwa dalam masyarakat yang
masih mengenal hukum yang tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan
dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang
hidup dikalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ketengah-tengah masyarakar
untuk mengenal , merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam hidup masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberi
putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian
makalah diatas dapat disimpulkan bahwa prinsip ketuhanan dalam hukum
penyelenggaraan negara adalah prinsip ke-Tuhanan Yang Maha Esa sebagai sila
pertama pancasila dengan sistem konstitusional paham kedaulatan rakyat dan
sekaligus kedaulatan hukum.
Prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab,memegang teguh hak asasi manusia
yang tertuang dalam undang-undang tentang hak asasi manusia.
Dan prinsip keadilan tertuang dalam sila kedua pancasila kemanusiaan
yang adil dan beradab, prinsip kemanusiaan yang dianggap ideal adalah kemanusiaan
yang adil yang langsung dirangkaikan dengan kata beradab, karena sifat adil itu
merupakan sifat ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Qs. Al
Baqarah:11,193,251).
SARAN
Demikian
makalah yang dapat kami sampaikan, tentunya makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan
untuk menyempurnakan pembuatan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin
DAFTAR
PUSTAKA
Asshiddiqie
Jimly, Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI, Th. 2006
Prof. Dr.
Suny Ismail, S.H., M.C.L, dkk, Hukum
Islam di Indonesia, Bandung:PT Rosda Karya, Th.1991
Yusdani, Fiqih Politik Muslim,
Doktrin, Sejarah dan Pemikirannya, Asmara Book:Yogyakarta, th. 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar