HAMAS FAI UMI

HAMAS FAI UMI

Rabu, 06 Mei 2015

MAKALAH MUDHARABAH



MUDHARABAH



OLEH :
Besse Fatimah BungaCina
051 2013 0006

PRODI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2014



 

I
                                                                                                                                          
   PENDAHULUAN
A.                Latar BelakangMasalah
Akad mudharabah merupakan salah satu produk pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syari’ah. Seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah (selanjutnya disebut UUPS). Pasal 19 UUPS menyebutkan, bahwa salah satu akad pembiayaan yang ada dalam perbankan syari’ah adalah akad mudharabah. Selain itu bank Indonesisa juga mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor, 10/16/PBI/2008 Tentang Prinsip Syari’ah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syari’ah, juga menyebutkan mudharabah adalah salah satu akad pembiayaan yang ada didalam perbankan syari’ah.
Akad Mudharabah adalah akad antara pemilik modal dengan pengelola modal, dengan ketentuan bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai dengan kesepakatan. Didalam pembiayaan mudharabah pemilik dana (Shahibul Maal) membiayai sepenuhnya suatu usaha tertentu. Sedangkan nasabah bertindak sebagai pengelola usaha (Mudharib). Pada prinsipnya akad mudharabah diperbolehkan dalam agama Islam, karena untuk saling membantu antara pemilik modal dengan seorang yang pakar dalam mengelola uang. Dalam sejarah Islam banyak pemilik modal yang tidak memiliki keahlian dalam mengelola uangnya. Sementara itu banyak pula para pakar dalam perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Oleh karena itu, atas dasar saling tolong menolong, Islam memberikan kesempatan untuk saling berkerja sama antara pemilik modal dengan orang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu.
Akad mudharabah berbeda dengan akad pembiayaan yang ada pada perbankan pada umumnya (perbankan konvensional). Perbankan konvensional pada umumya menawarkan pembiayaan dengan menentukan suku bunga tertentu dan pengembalian modal yang telah digunakan mudharib dalam jangka waktu tertentu. Namun Akad mudharabah tidak menentukan suku bunga tertentu pada mudharib yang menggunakan pembiayaan mudharabah, melainkan mewajibkan mudharib memberikan bagi hasil dari keuntungan yang diperoleh mudharib.
Pembiayaan mudharabah pada dasarnya diperuntukan untuk jenis usaha tertentu atau bisnis tertentu. Oleh karena itu, kami sebagai pemakalah akan mencoba membahas tentang mudharabah ini serta permasalahan yang ada didalamnya.
B.                 Rumusan Masalah
1.                  BagaimanaPengertian Mudharabah ?
2.                  BagaimanaDasar Hukum Mudharabah ?
3.                  BagaimanaSyarat dan Rukun Mudharabah ?
4.                  BagaimanaJenisdanHikmahMudharabah ?
5.                  BagaimanaAsas-asas Perjanjian Mudharabah ?
6.                  Apapenyebabbatalnya Mudharabah ?
C.                Tujuan
1.                  MengetahuiPengertian Mudharabah
2.                  MengetahuiDasar Hukum Mudharabah
3.                  MengetahuiSyarat dan Rukun Mudharabah
4.                  MengetahuiJenisdanHikmah Mudharabah
5.                  MengetahuiAsas-asas Perjanjian Mudharabah
6.                  Mengetahuipenyebabbatalnya Mudharabah ?







II
 PEMBAHASAN

A.                Pengertian Mudharabah
Mudharabah adalah bahasa penduduk Irak dan qiradh atau muqaradhah  bahasabpenduduk Hijaz.[1]Namun, pengertianqiradhdanmudhaharahadalahsatumakna.[2]
Mudharabahberasal dari kata dharb, artinya memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha, artinya berjalan di bumi untuk mencari karunia Allah yaitu rezeki. Sebagaimanafirman Allah :
وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الأرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
Dan yang lainnya, bepergian di mukabumimencarikarunia Allah (Q.S. Al-Muzammil : 20)
Mudharabah adalah salah satu bentuk kerjasama antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam berdagang, di dalam fiqh Islam di sebut dengan Mudharabah oleh ulama fiqh Hijaz menyebutkan dengan qiradyang berarti al-qat’ (potongan). Pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya. Maksudnya, akad antara kedua belah pihak untuk salah seorangnya (salah satu pihak) mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lainnya untuk diperdagangkan, dan laba dibagi dua sesuai dengan kesepakatan. Mudharabah berasal dari akar kata dharaba pada kalimat al-dharb fi al ardh, yaitu bepergian untuk urusan dagang. Abdurrahman al-Jaziri mengatakan, Mudharabah menurut bahasa berarti ungkapan pemberian harta dari seseorang kepada orang lain sebagai modal usaha di mana keuntungan yang diperoleh dibagi diantara mereka berdua, dan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal.
Sedangkan menurut istilah syara’, Mudharabah merupakan akad antara dua pihak untuk bekerja sama dalam usaha perdagangan dimana salah satu pihak memberikan dana kepada pihak lain sebagai modal usaha dan keuntungan dari usaha itu akan dibagi di antara mereka berdua sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama.
Secara terminologi, para ulama fiqh mendefinisikan Mudharabah atau qiradh dengan :

أَنْ يَدْ فَعٍ اَلْمَا لِكُ اِلَى الْعَامِلُ مَالًايَتَجَرَ فِيْهِ وَيَكُوْنُ الَّربْحُ مُشْتَرِكًا

Pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan oleh pemilik modal, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan bersama.
Secara teknis, al-Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahib al-mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu tidak disebabkan oleh kelalaian si pengelola. Namun, apabila kerugian itu disebabkan kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
B.                 Dasar Hukum Mudharabah
1.                  Al-Qur’an
Akad mudharabah dibolehkan (mubah) dalam Islam, karena bertujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutarkan uang. Banyak diantara pemilik modal yang tidak pakar dalam mengelola dan memproduktifkan uangnya, sementara itu banyak pula para pakar di bidang perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Atas dasar tolong menolong dalam pengelolaan modal tersebut, Islam memberikan kesempatan untuk saling bekerja sama antara pemilik modal dengan seseorang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal tersebut.
Pada masa jahiliyyah qirad telah dilaksanakan, kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya yaitu agama Islam. Timbulnya qirad karena menjadi kenyataan hajat bagi setiap manusia. Qirad ini memberikan nilai tambah antara keduanya yang mengandung sifat tolong menolong, karena orang yang mempunyai modal tetapi tidak pandai berdagang, atau tidak berkesempatan, sedangkan yang lain pandai dan cakap lagi mempunyai waktu yang cukup, tetapi tidak mempunyai modal, maka keduanya bisa saling mengisi demi kemajuan bersama.
Qiradh benar-benar diakui keberadaannya di dalam hukum Islam (Syariat Islam) berdasarkan dalil naqly baik berupa nash maupun berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw. Dalil naqly tersebut sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu kepada Allah dan tinggalkanlah (jangan pungut) apa pun bentuk riba yang masih ada, jika kamu benar beriman kepada-Nya. Jika kamu tidak mau meninggalkannya, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rosul-Nya akan menerangimu. Tapi, jika kamu tobat (kembali kepada ajaran Allah), maka kamu boleh menerima modalmu, sehingga kamu tidak menganiaya si peminjam dan kamu tidak pula dianiayanya”.  (QS. Al-Baqarah: 278-279).
Ayat Al-Qur’an lain yang secara umum mengandung kebolehan akad Mudharabah untuk bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan Allah di atas bumi adalah :
“Dan yang lain lagi, mereka bepergian di muka bumi mencari karunia dari Allah”.  (QS. Al-Muzammil: 20).
Maksud dari QS. Al-muzammil: 20 adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan akar kata Mudharabah yang berarti melakuakn suatu perjalanan usaha.
“Tidak ada dosa (halangan) bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari Tuhanmu”.  (QS. Al-Baqarah: 198).
2.      Hadis
Sebelum Rasulullah  diangkat menjadi Rasul, Rasulullah pernah melakukan Mudharabah dengan Khadijah, dengan modal dari Khadijah. Beliau pergi ke Syam dengan membawa modal tersebut untuk diperdagangkan.
قَالَ رَسُوُّلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ الْبَيْعُ إِلىَ اَجَلٍ وَاْلمقَارَضَةُ وَاَخْلاَطُ الْبُرِّ بِاالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَلِلْبَيْعِ
Rasulullah saw bersabda: “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan, yaitu jual beli secara tangguh, muqaradhah (bagi hasil) dan mencampur gandum putih dengan gandum merah untuk keperluan rumah bukan untuk dijual.” 

كَانَ سَيِّدِنَا الْعَبَّاسُ بْنِ عَبْدِاْلمُطَلِّبِ اِذَا دَفَعَ الْمَالَ مُضَارَبَةً اِشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ اَنْ لَا يَسْلُكَ بِهِ بَحْرًا, وَلَا يَنْزِلَ بِهِ وَادِيًا وَلَا يَشْتَرِيَ بِهِ دَابَّةً ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ فَإِ نْ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمِنَ فَبَلَغَ شَرْتُهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَا‘لِهِ وَ سَلَّم فَأَ جَازُهُ
“Abbas  bin  Abdul  Muthallib  jika  menyerahkan  harta  sebagai Mudharabah,  ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika  persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar  Rasulullah,  beliau membenarkannya”(HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).
3.                  Ijma’
Ibnu Syihab pernah meriwayatkan dari Abdullah bin Humaid dari bapaknya dari kakeknya: “Bahwa Umar bin Khattab pernah memberikan harta anak yatim dengan cara Mudharabah. Kemudian Umar meminta bagian dari harta tersebut lalu dia mendapatkan (bagian). Kemudian bagian tadi dibagikan kepadanya oleh Al-Fadhal. ”Ibnu Qadamah dalam kitab Al-Mughni dari malik bin Ila’ bin Abdurrahman dari bapaknya: “Bahwa Utsman telah melakukan qirad (Mudharabah)”. Semua riwayat tadi didengarkan dan dilihat oleh sahabat sementara tidak ada satu orang  pun mengingkari dan menolaknya, maka hal itu merupakan ijma’ mereka tentang kemubahan Mudharabah ini.
C.                Rukundan SyaratMudharabah
Menurut ulama Syafi’iyah, [3] rukun-rukun qiradh ada enam, yaitu:
1.                  Pemilikbarang yang menyerahkanbarang-barangnya
2.                  Orang yang bekerja, yaitu yang mengelolabarang yang diterimadaripemilikbarang
3.                  Aqadmudharabah, dilakukanolehpemilikdenganpengelolabarang
4.                  Mal, yaituHartapokok atau Modal 
a.       Modal harus dinyatakan dengan jelas jumlahnya, seandainya modal berbentuk barang, maka barang tersebut harus dihargakan dengan harga semasa dalam uang yang beredar (atau sejenisnya).
b.      Modal harus dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
c.       Modal harus diserahkan kepada mudharib, untuk memungkinkannya melakukan usaha.
7.                  Amal, yaitupekerjaanpengelolaanhartasehinggamenghasilkanlaba,
8.                  Keuntungan.
a.       Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam prosentase dari keuntungan yang mungkin dihasilkan nanti. Keuntungan yang menjadi milik pekerja dan pemilik modal harus jelas prosentasinya.
b.      Kesepakatan rasio prosentase harus dicapai melalui negosiasi dan dituangkan dalam kontrak.
c.       Pembagian keuntungan baru dapat dilakukan setelah mudharib mengembalikan seluruh atau sebagian modal kepada shahib al-mal.
Menurut madzhab Hanafiyah rukun Mudharabah adalah ucapan tanda penyerahan dari pihak yang menyerahkan dalam suatu perjanjian (ijab) dan ucapan tanda setuju (terima) dari pihak yang menerima dalam suatu akad perjanjian atau kontrak (qabul), jika pemilik modal dengan pengelola modal telah melafalkan ijab qabul, maka akad itu telah memenuhi rukunnya dan sah.
Sedangkan menurut jumhur ulama’ ada tiga rukun dari Mudharabah yaitu:
1)                  Dua pihak yang berakad (pemilik modal/shahib al-mal dan pengelola dana/pengusaha/mudharib); Keduanya hendaklah orang berakal dan sudah baligh (berumur 15 tahun) dan bukan orang yang dipaksa. Keduanya juga harus memiliki kemampuan untuk diwakili dan mewakili.
2)                  Materi yang diperjanjikan atau objek yang diakadkan terdiri dari atas modal (mal), usaha (berdagang dan lainnya yang berhubungan dengan urusan perdagangan tersebut), keuntungan;
3)                  Sighat, yakni serah/ungkapan penyerahan modal dari pemilik modal (ijab) dan terima/ungkapan menerima modal dan persetujuan mengelola modal dari pemilik modal (qabul).
D.                Jenis-jenis Mudharabah
Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis : mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.[4]
1.                  Mudharabah Mutlaqah 
Yang dimaksud dengan transaksi Mudharabah Mutlaqah adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal (penyedia dana) dan mudharib (pengelola) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam pemabahasan fiqih ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shabibul maal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar.
2.                  Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah atau disebut juga dengan istilah rettricted mudharabah/specified mudharabah adalahkebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharibdibatasidenganbatasanjenisusaha, waktu, ataute,patusaha. Adanyapembatasaniniseringkalimencerminkankecenderunganumumsishabibulmaaldalammemasukijenisduniausaha.
E.                 Hikmah Mudharabah
Sebagian orang memiliki harta, tetapi tidak berkemampuan untuk memproduktifitaskannya. Terkadang pula ada orang yang tidak memiliki harta, tetapi ia mempunyai kemampuan memproduktifitaskannya, oleh karena itu syariat membolehkan muamalah ini supaya kedua belah pihak dapat mengambil manfaatnya.
Pemilik harta mendapatkan manfaat dengan pengalaman mudharib (orang yang diberi modal), sedangkan mudharib dapat memperoleh manfaat dengan harta (sebagai modal) dengan demikian tercipta kerjasama antara pemilik modal dan mudharib. Allah tidak menetapkan segala bentuk akad, melainkan demi terciptanya kemaslahatan dan terbendungnya kesulitan.
Adapun hikmah dari Mudharabah yang dikehendaki adalah mengangkat kehinaan, kefakiran dan kemiskinan masyarakat juga mewujudkan rasa cinta kasih dan saling menyayangi antar sesama manusia. Seorang yang berharta mau bergabung dengan orang yang pandai memperdagangkan harta dari harta yang dipinjami oleh orang kaya tersebut.
F.                 Asas-asas Perjanjian Mudharabah
Asas-asas dalam perjanjian Mudharabah adalah;
1.                  Perjanjian Mudharabah dapat dibuat secara formal maupun informal, secara tertulis maupun lisan. Namun, sesuai dengan ketentuan al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 282-283 yang menekankan agar perjanjian-perjanjian dibuat secara tertulis.
2.                  Perjanjian Mudharabah dapat pula dilangsungkan diantara shahib al-mal dan beberapa mudharib, dapat pula dilangsungkan diantara beberapa shahib al-mal dan beberapa mudharib.
3.                  Pada hakekatnya kewajiban utama shahib al-mal ialah menyerahkan modal Mudharabah kepada mudharib. Bila hal itu tidak dilakukan, maka perjanjian Mudharabah menjadi tidak sah.
4.                  Shahib al-mal dan mudharib haruslah orang yang cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil.
5.                  Shahib al-mal menyediakan dana, mudharib menyediakan keahlian, waktu, pikiran, dan upaya.
6.                  Mudharib berkewajiban mengembalikan pokok dana investasi kepada shahib al-mal ditambah bagian dari keuntungan shahib al-mal.
7.                  Syarat-syarat perjanjian Mudharabah wajib dipatuhi mudharib.
8.                  Shahib al-mal berhak melakukan pengawasan atas pelaksanaan perjanjian Mudharabah.
9.                  Shahib al-mal harus menentukan bagian tertentu dari laba kepada mudharib dengan nisbah (prosentase).
10.              Mudharabah berakhir karena telah tercapainya tujuan dari usaha tersebut. Sebagaimana dimaksud dalam perjanjian Mudharabah atau pada saat berakhirnya jangka waktu perjanjian Mudharabah atau karena meninggalnya salah satu pihak, yaitu shahib al-mal atau mudharib, atau karena salah satu pihak memberitahukan kepada pihak lainnya mengenai maksudnya untuk mengakhiri perjanjian Mudharabah itu.
Apabilapengelola modal mengingkariketentuan-ketentuanmudharabah yang telahdisepakatiduabelahpihak, makatelahterjadikecatatandalammudharabah.Kecatatan yang terjadimenyebabkanpengelolaandanpenguasaanhartatersebutdianggapghasab.Ghasabadalah min al-kabair.[5]
G.                Sebab-sebab Batalnya Mudharabah
Mudharabah  menjadi batal karena hal-hal berikut:
1.                  Tidak terpenuhinya syarat sahnya Mudharabah. Apabila terdapat satu syarat yang tidak dipenuhi, sedangkan mudharib sudah terlanjur menggunakan modal Mudharabah untuk bisnis perdagangan, maka dalam keadaan seperti ini mudharib berhak mendapatkan upah atas kerja yang dilakukannya, karena usaha yang dilakukannya atas izin pemilik modal  dan mudharib melakukan suatu pekerjaan yang berhak untuk diberi upah.
Semua laba yang dihasilkan dari usaha yang telah dikerjakan adalah hak pemilik modal. Jika terjadi kerugian maka pemilik modal juga yang menanggungnya. Karena mudharib dalam hal ini berkedudukan sebagai buruh dan tidak dapat dibebani kerugian kecuali karena kecerobohannya.
2.                  Pengelola atau mudharib  sengaja tidak melakukan tugas sebagaimana mestinya dalam memelihara modal, atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad. Jika seperti itu dan terjadi kerugian maka, pengelola berkewajiban untuk menjamin modal karena penyebab dari kerugian tersebut.
3.                  Pengelola meninggal dunia atau pemilik modalnya, maka Mudharabah  akan menjadi batal.
Jika pemilik modal yang wafat, pihak pengelola berkewajiban mengembalikan modal kepada ahli waris pemilik modal serta keuntungan yang diperoleh diberikan kepada ahli warisnya sebesar kadar prosentase yang disepakati. Tapi jika yang wafat itu pengelola usaha, pemilik modal dapat menuntut kembali modal itu kepada ahli warisnya dengan tetap membagi keuntungan yang dihasilkan berdasarkan prosentase jumlah yang sudah  disepakati.
Jika Mudharabah  telah batal, sedangkan modal berbentuk ‘urudh (barang dagangan), maka pemilik modal dan pengelola menjual atau membaginya, karena yang demikian itu merupakan hak berdua. Dan jika si pengelola setuju dengan penjualan, sedangkan pemilik modal tidak setuju, maka pemilik modal dipaksa menjualnya, karena si pengelola mempunyai hak di dalam keuntungan dan dia tidak dapat memperolehnya kecuali dengan menjualnya. Demikian menurut madzhab Asy Syafi’i dan Hambali.





III 
PENUTUP
A.                Kesimpulan
Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.
Ayat Al-Qur’an yang secara umum mengandung kebolehan akad Mudharabah untuk bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan Allah di atas bumi:
“Dan yang lain lagi, mereka bepergian di muka bumi mencari karunia dari Allah”.  (QS. Al-Muzammil: 20).
menurut jumhur ulama’ ada tiga rukun dari Mudharabah yaitu:
1.      Dua pihak yang berakad (pemilik modal/shahib al-mal dan pengelola dana/pengusaha/mudharib)
2.      Materi yang diperjanjikan atau objek yang diakadkan
3.      Sighat (ijab-qabul)
Mudharabah dibagi menjadi tiga jenis yaitu:
1.      Mudharabah Mutlaqah 
2.      Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah  menjadi batal karena hal-hal berikut:
1.      Tidak terpenuhinya syarat sahnya Mudharabah
2.      Pengelola atau mudharib  sengaja tidak melakukan tugas sebagaimana mestinya dalam memelihara modal
3.      Pengelola meninggal dunia atau pemilik modalnya






DAFTAR PUSTAKA
Rasjid, sulaiman; Fiqh Islam (hukum fiqh lengkap), cet 51, bandung; sinar baru algesindo, 2011.
Syafi’i, Muhammad Antonio; Bank syari’ahdariteorikepraktik, Jakarta; Gemainsani, 2001




[1]Lihatal-Bajuri, h. 20
[2]LihatFifayat al-Akhyar, h. 301
                        [3]SulaimanRasyid, Fiqh Islam, h. 196
[4]Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ahdariTeorikePraktik. Cet. I; Jakarta: h. 97
[5]Abd al-Rahman al-Jaziri, Fiqh ‘AlaMadzahib al-Al-Arba’ah, h. 42

Tidak ada komentar:

Posting Komentar