HAMAS FAI UMI

HAMAS FAI UMI

Rabu, 06 Mei 2015

MAKALAH FIQH MUAMALAH I IJARAH



                                                                                                                                      I        
 PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang Masalah
Muamalah merupakan bagian dari rukun islam yang mengatur hubungan antara seseorang dan orang lain. Contoh hukum islam yang termasuk muamalah salah satunya adalah ijarah (sewa-menyewa dan upah).Seiring dengan perkembangan zaman, transaksi muamalah tidak terdapat miniatur dari ulama klasik, transaksi tersebut merupakan terobosan baru dalam dunia modern.Dalam hal ini kita harus cermat, apakah transaksi modern ini memiliki pertentangan tidak dengan kaidah fiqih? Jika tidak, maka transaksi dapat dikatakan mubah.Sebelum dijelaskan mengenai ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna operasional ijarah itu sendiri. Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqh Syafi’I, berpendapat bahwa ijarah berarti upah-mengupah, hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah-mengupah, mu’jir dan musta’jir, sedangkan Kamaluddin A. Marzuki sebagai penerjemah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa-menyewa.
Dari dua buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda, sedangkan upah digunkan untuk tenaga. Namun dalam bahasa Arab ijarah adalah sewa dan upah. Sehingga ketika kita melihat bagaimana aplikasi dari ijarah itu sendiri dilapangan, maka kita bisa mendapati sebagai mana yang akan dibasas dalam makalah ini. Yangmana diharapkan dengan hadirnya makalah ini dapat memberikan masukan ilmu pengetahuan kepad kaum muslimin mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sewa-menyewa. Ijarah merupakan menjual manfaat yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain dengan menggunakan ketentuan syari’at islam. Kegiatan ijarah ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari baik dilingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar kita. Oleh sebab itu kita harus mengetahui apa pengertian dari ijarah yang sebenarnya, rukun dan syarat ijarah, dasar hukum ijarah, manfaat ijarah dan lain sebagainya mengenai ijarah. Karena begitu pentingnya masalah tersebut maka permasalahan ini akan dijelaskan dalam pembahasan makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Ijarah?
2.      Apayang menjadi dasar hukum ijarah?
3.      Apa saja yang menjadi Rukun dan syarat Ijarah?
4.      Apa saja yang menjadi dasar hukum Ijarah?
5.      Bagaimana Pandangan Ulama tentang ijarah ?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui pengertian Ijarah
2.      Mengetahui dasar-dasar hukum Ijarah
3.      Mengetahui rukun dan syarat Ijarah
4.      Mengetahui dasar-dasar hukum Ijarah
5.      Mengetahui pandangan ulama tentang Ijarah







               II.             
PEMBAHASAN
A.                Pengertian Ijarah
            Menurut etimologi, ijarahadalah  بيع المنفعة(menjual manfaat).[1]Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain.[2]Demikian pula artinya menurut terminologi syara’. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan dikemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih:
1.                  Ulama Hanafiyah:
عقد على المنافع بعوض
Artinya:
“Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
2.                  Ulama Asy-Syafi’iyah:
عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذل والاءباحة بعوض معلوم.
Artinya:
“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
3.                  Ulama Malikiyah dan Hanabilah:
تمليك منافع شىء مباحة مدة معلومة بعوض.
Artinya:
“Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”
            Ada yang menterjemahkan, ijarah sebagai jual beli jasa (upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menterjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari  barang. Jadi ijarah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu ijarah atas jasa dan ijarah atas benda.

            Jumhur ulama fiqh berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya.Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, seb cab semua itu bukan manfaatnya, tetapi bendanya. Namun sebagian ulama memperbolehkan mengambil upah mengajar Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan agama, sekedar untuk memenuhi kaperluan hidup, karena mengajar itu telah memakai waktu yang seharusnya dapat mereka gunakan untuk pekerjaan mereka yang lain.[3]
B.                 Landasan Syara’ atau Dasar Hukum Ijarah
            Hampir semua ulama fiqh sepakat bahwa ijarah disyari’atkan dalam Islam.Namun ada sebagian yang tidak menyepakati dengan alasan bahwa ijarah adalah jual-beli barang yang tidak dapat dipegang (tidak ada).Sesuatu yang tidak ada tidak dapat dikategorikan jual beli.
Dalam menjawab pandangan ulama yang tidak menyepakati ijarah tersebut, Ibn Rusyd berpendapat bahwa kemanfaatan walaupun tidak berbentuk, dapat dijadikan alat pembayaran menurut kebiasan (adat). Dan mengenai hal ini dapat dikatakan bahwa meski tidak terdapat manfaat pada saat terjadinya akad, tetapi pada dasarnya akan dapat dipenuhi. Sedang dari manfaat-manfaat tersebut, hukum syara’ hanya memperhatikan apa yang ada pada dasarnya yang akan dapat dipenuhi, atau adanya keseimbangan antara dapat dipenuhi dan tidak dapat dipenuhi.[4]
Landasan ijarah menurut jumhur ulama adalah sebagai berikut:
a.                   Al-Qur’an
فان ارضعن لكم فاتوهن اجورهن (الطلاق: 6)
Artinya:
Jika mereka menyusukan  (anak-anakmu)untukmu, maka berikanlah mereka upahnya.” (QS. Ath-Thalaq: 6)
b.                  As-Sunnah

اعطوا الاجير اجره قبل ان يجف عرقه. (رواه ابن ماجه عن ابن عمر)
Artinya:
“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.”(HR. Ibn Majah dari Ibn Umar)
c.                   Ijma’
            Umat Islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.
C.                Rukun dan Syarat Ijarah
Rukun-rukun dan syarat-syarat ijarahadalah sebagai berikut.
1.      Mu’jir dan musta’jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa-menyewa atau upah-mengupah. Mu’jir adalah yang memberikan upah dan yang menyewakan, musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu, disyaratkan pada mu’jir dan musta’jir adlah baligh, berakal, cakap melakukan tasharruf  (mengendalikan harta), dan saling meridhai.


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan bathil, kecuali dengan perniagaan secara suka sama suka (Al-Nisa:29).
Bagi orang berakad ijarah juga disyaratkan mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan sempurnah sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.
2.      Shighat ijab Kabul antara mu’jir dan musta’jir , ijab Kabul sewa-menyewa dan upah-mengupah, ijab Kabul sewa-menyewa misalnya: “Aku sewakan mobil ini kepadamu setiap hari Rp5.000,00”, maka musta’jir menjawab “ Aku terima sewa mobil tersebut dengan harga demikian setiap hari”. Ijab Kabul upah-mengupah misalnya seseorang berkata, “Kuserahkan kebun ini kepadamu untuk dicangkuli dengan upah setiap hari Rp5.000,00”, kemudian musta’jir menjawab “Aku akan kerjakan pekerjaan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapkan.”
3.      Ujrah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa-menyewa maupun dalan upah-mengupah.
4.      Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah-mengupah, disyaratkan pada barang yang disewakan dengan beberapa syarat berikut ini.
a.       Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat dimanfaatkan kegunaanya.
b.      Hendaklah benda yang menjadi objek sewa-menyewa dan upah mengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaannya (khusus dalam sewa-menyewa).
c.       Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah (boleh) menurut syara’ bukan hal yang dilarang (diharamkan)
d.      Benda yang disewakan disyaratkan kekal ‘ain (zat)-Nya hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam akad.
D.                Sifat Ijarah
            Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang sifat ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak.Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa akad ijarah itu mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu pihak yang berakad, seperti salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan bertindak hukum.Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan.[5] Akibat perbedaan pendapat ini terlihat dalam kasus apabil;a salah seorang meninggal dunia, maka akad ijarah batal, karena manfaat tidak boleh diwariskan. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa manfaat itu boleh diwariskan karena termasuk harta (al-mal).Oleh sebab itu, kematian salah satu pihak yang berakad tidak membatalakn akad ijarah.

E.                 Hukum Ijarah
            Hukum ijarah shahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih, sebab ijarah termasuk jual beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.
            Adapun hukum ijarah rusak, menerut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad.Ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat.Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya.
Jafar dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah  fasid sama dengan jual beli fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang sewaan.
F.                 Macam-Macam Ijarah
            Ijarah terbagi menjadi dua bagian, yaitu:[6][7]
a.                   Ijarah yang bersifat manfaat, umpamanya adalah sewa-menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian, dan pehiasan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk dipergunakan, maka para ulama sepakat menyatakan boleh dijadikan objek sewa-menyewa, jadi penyewaan barang-barang tersebut tergantung pada kemanfaatannya.
b.                  Ijarah yang bersifat pekerjaan (jasa) ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Menurut para ulama ijarah ini hukumnya boleh apabila pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, tukang sepatu dan lain-lain.Ijarah ini ada yang bersifat pribadi seperti menggaji pembantu rumah tangga, dan ada yang bersifat serikat, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang menjual jasanya untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, tukang jahit dan lain-lain.Kedua bentuk ijarah ini menurut para ulama fiqh hukumnya boleh.

G.                Perbedaan Diantara Yang Akad
            Seringkali terjadi perbedaan pendapat diantara kedua pihak yang melakukan akad (sewa-menyewa) tentang jumlah upah yang harus diterima atau diberikan padahal ijarah dikategorikan shahih, baik sebelum jasa diberikan maupun sesudah jasa diberikan.
            Apabila terjadi perbedaan sebelum diterimanya jasa, keduanya harus bersumpah, sebagaimana disebutkan pada hadist Rasulullah s.a.w.:
اذا اختلف المتبايعان تحالفا وترادا. (رواه اصحاب السنن الاربعة واحمد والشافع)
Artinya:
“Jika terjadi perbedaan di antar orang yang berjual beli, keduanya harus saling bersumpah dan mengembalikan.” (HR. Ashab Sunan Al-Arba’ah, Ahmad, dan Imam Syafi’I)
            Hadist tersebut meskipun berkaitan dengan jual-beli, juga relevan dengan ijarah.Dengan demikian, jika keduanya bersumpah, ijarah menjadi batal.

H.                Berakhirnya Akad ijarah
            Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad ijarah akan berakhir apabila:
a.                   Tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah berakhir.
b.                  Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya seorang yang berakad, karena kad ijarah, menurut mereka, tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad ijarahtidak batal dengan wafatnya salah seorang berakad, karena manfaat, menurut mereka, boleh diwariskan dan ijaraha sama denganjual beli, yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.
c.                   Objek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar.
d.                  Menurut ulama Hanafiyah, apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti rumah yang disewakan disita negara karena terkait utang yang banyak, maka akad iajarah batal. Uzur-uzur yang dapat membatalkan akad  ijarah itu, menurut ulama Hanafiyah adalah salah satu pihak jatuh muflis, dan berpindah tempatnya penyewa, misalnya, seorang digaji untuk menggali sumur disuatu desa, sebelum sumur itu selesai, penduduk desa itu pindah kedesa lain. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, uzur yamng boleh mebatalkan akad ijarah itu hanyalah apabila objeknya mengandung cacat atau manfaatnya yang dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran dan  dilandabanjir.

I.                   Pengertian  upah  secara klasik dan kontenporer
a.                  Secara kontemporer
Menurut Dewan Penelitian Perupahan Nasional, upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dan akan dilakukan, berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup yang layak bagi kemanusiaan dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, undang-undang dan peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi dan penerima kerja.
b.                  Secara  klasik
Hadits Rasulullah saw tentang upah yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :
“ Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).
Dari hadits di atas, maka dapat didefenisikan bahwa Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (Adildan Layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akhirat (imbalan yang lebih baik).
Upah mengupah (ijaratu al-ajir) adalah memberikan suatu jasa (berupa tenaga maupun keahlian) pada pihak tertentu dengan imbalan sejumlah upah (ujrah).Upah mengupah disebut juga dengan jual beli jasa. Misalnya ongkos kendaraan umum, upah proyek pembangunan, dan lain-lain.
Pada dasanya pembayaran upah harus diberikan seketika juga, sebagaimana jual beli yang pembayarannya waktu itu juga. Tetapi sewaktu perjanjian boleh diadakan dengan mendahulukan upah atau mengakhirkan. Jadi pembayarannya sesuai dengan perjanjiannya. Tetapi kalau ada perjanjian, harus segera diberikan manakala pekerjaan sudah selesai. Nabi bersabda: "Upah harus diberikan sebelum peluhnya kering."
Kematian orang yang mengupah atau diupah tidak membatalkan akad pengupahan. Artinya, kalau orang yang mengupah mati, padahal permintaannya sudah dikerjakan oleh orang yang diupah, keluarganya wajib memberikan upahnya. Tetapi kalau orang yang diupahnya mati sebelum menerima upahnya, ahli warisnya menerima upahnya. Tetapi kalau mati sebelum menyelesaikan pekerjaan, urusannya di tangan Allah.
Dalam transaksi ini, bentuk pekerjaan (al-‘amal dan al-juhd), lamanya pekerjaan (muddatu al-‘amal) dan upah (ujrah) harus jelas.Rasullullah SAW berkata:”Apabila salah seorang diantara kalian mempekerjakan seseorang, maka hendaknya memberitahukan upahnya kepada orang itu”,Ketidakjelasan dalam ijarah hukumnya fasad.







               III.           
  PENUTUP
A.                Kesimpulan
Dari penjelasan dan pemaparan ijarah diatas baik itu definisi, syarat dan rukun-rukunnya dapat penulis simpulkan bahwa:
a.       Ijarah adalah salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain dengan ada imbalannya atau upahnya.
b.      Dalam memaknai ijarah itu sendiri banyak perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Namun intinya mereka menyetujui adanya ijarah setelah memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh masing-masing para ulama, sehingga meskipun terjadi perbedaan didalamnya selalu ada pemecahan persoalan terhadap permasalahan-permasalan yang timbul dikarenakan hal-hal yang terkait dengan ijarah itu sendiri.
B.                 Kritik dan saran
Penulis menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang tidak perna luput dari kesalahan, sehingga secara pribadi penulis sangat megharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini agar nantinya dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca khususnya bagi penulis sendiri.







DAFTAR PUSTAKA
Moh. Zuhri, Terjemah Fiqh Empat Madzhab, Semarang: Asy-Syifa, 1993
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Bandung: Sinar Baru Algensido, 1994
Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatu’l Mujtahid, Semarang: Asy-Syifa, 1990
Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2004
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya media Pratama, 2000
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002
Karim, Helmi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997


[1] Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, (Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2004), h.121
[2] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya media Pratama, 2000), h.228          
[3]Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), (Bandung: Sinar Baru Algensido, 1994), h.304
[4] Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatu’l Mujtahid, (Semarang: Asy-Syifa, 1990), h. 196
[5]Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si. Fiqhi Muamalah, cet. Jakarta : 2005 h. 117-118
[6]Moh. Zuhri, Terjemah Fiqh Empat Madzhab, (Semarang: Asy-Syifa, 1993), h.169-170

Tidak ada komentar:

Posting Komentar