HAMAS FAI UMI

HAMAS FAI UMI

Selasa, 12 Mei 2015

HAMAS | MAKALAH METODOLOGI PEMAHAMAN ISLAM



 I
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang sangat komplek. Sehingga dalam memahaminya pun dibutuhkan cara yang tepat agar dapat tercapai suatu pemahaman yang utuh tentang Islam. Di Indonesia sejak Islam masuk pertama kali sampai saat ini telah timbul berbagai macam pemahaman yang berbeda mengenai Islam. Sehingga dibutuhkanlah penguasaan tentang cara-cara yang digunakan dalam memahami Islam.
            kehadiran agama islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejatera lahir dan batin. Di dalamnya terdapat beberapa petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini secara bermakna dalam arti yang seluas-luasnya. Gambaran ajaran islam yang demikian ideal itu pernah dibuktikan dalam sejarah dan manfaatnya dirasakan oleh seluruh umat islam.
            Dengan penyajian yang demikian itu, makalah ini diharukan dapat membantu pembaca dalam memahami ajaran islam. Dengan demikian mkalah ini menempati posisi sebagai pengantar yang diharakan dapat menunjukan dengan jelas tentang bagaimana ajaran islam itu seharusnya dipahami
Maka, dalam makalah ini penulis akan mencoba membahas mengenai metodologi serta beberapa hal yang berkaitan untuk memahami Islam di Indonesia.





 II
PEMBAHASAN
METODOLOGI PEMAHAMAN ISLAM
Istilah dari metodologi berasal dari bahasa yunani, yakni methodos dan logos. Methodos berarti cara, kiat, dan seluk beluk yang berkaitan dengan upaya menyelesaikan sesuatu. Sementara logos berarti ilmu pengetahuan, cakrawala, dan wawasan. Dengan demikian, metodologi adalah pengetahuan tentang metode atau cara-cara yan berlaku dalam kajian atau penelitian. Bagaimana  cara kita memperoleh pengetahuan yang benar? Untuk mendapatkan pengetahuan itu, kita harus mengetahui metode yang tepat untuk memperolehnya.
            Maka dapat diartikan bahwa metodologi pemahaman islam adalah  cara-cara yang dikemukakan oleh seseorang atau kelompok dengan tidak keluar dari pedoman agama Islam itu sendiri (Al-Qur’an dan hadits) supaya dapat magetahui bagaimana cara memahami agama islam dengan benar.
Selain itu, metodologi adalah pengetahuan tentang metode-metode. Jadi, metodologi penelitian adalah pengetahuan tentang berbagai metode yang dipergunakan dalam penelitian. Louay safi mendefinisikan metodologi sebagai bidang penelitian ilmiah yang berhubungan dengan pembahasan tentang metode-metode yang digunakan untuk mengkaji fenomena alam dan manusia, atau dengan redaksi yang lain, “metodologi adalah bidang penelitian ilmiah yang membenarkan, mendeskripsikan, dan mejelaskan aturan-aturan, prosedur-prosedur sebagai metode ilmiah. Penilaian ini mrncakup penelitian lapangan (field research) maupun penelitian pustaka (library research) bahkan bila ditelusuri lebih luas lagi, penelitian kulitatif dan penelitian kuantitatif. Kaarena ada anggapan behwa sebagian sarjana kita bahwa yang dianggap penelitian adalah penelitian lapangan (filed research). Cara pandang pemikiran louaysafi mengikuti alur pemikiran Ismail Raja al-Faruqi, seorang pemikir palestina yang menetap dan menjadi guru besar diamerika. Namun, yang penting dariusulan Ismail Raja al-furuqi adalah pemikirannya dalam menegakkan prinsip-prinsip metodologi islam. Al-furuqi mengidentifikasi lima prinsip metodologi islam yang di ungkapkannya dengan istila “lima kesatuan” yaitu kesatuan allah, makhluk, kebenaran, kehidupan, dan humanitas.

A.    KEGUNAAN METODOLOGI
Islam merupakan agama yang untuk memahaminya secara utuh, harus dilihat dari berbagai dimensi. Di Indonesia yang terdiri dari berbagai kebudayan dan berbagai kepentingan, Islam dipahami sesuai dengan kepentingan masing-masing pihak. Sehingga terkesan bahwa pemahaman Islam yang terjadi di masyarakat masih bercorak parsial, belum utuh dan belum pula komprehensif. Dan sekalipun dijumpai adanya pemahaman Islam yang utuh dan komprehensif, namun hal itu belum tersosialisasikan secara merata ke seluruh masyarakat.
Oleh karena itu, diperlukan metodologi yang di dalamnya dibahas mengenai berbagai macam metode yang bisa digunakan dalam studi Islam. Agar studi Islam dapat tersusun secara sistematik dan disampaikan menurut prinsip, pendekatan dan metode yang baik dan untuk membuat Islam lebih responsive dan fungsional dalam memandu perjalanan umat serta menjawab berbagai masalah yang dihadapi saat ini, diperlukan metode yang dapat menghasilkan pemahaman Islam yang utuh dan komprehensif. Dalam hal ini, Mukti Ali pernah mengatakan bahwa metodologi adalah masalah yang sangat penting dalam pertumbuhan ilmu.
Ibarat akan pergi ke Jakarta dan berangkat dari Yogyakarta, maka metodologi merupakan kajian atas cara-cara yang bisa digunakan seperti naik sepeda motor, bus, kereta, ataupun pesawat terbang. Bila dihubungkan dengan studi Islam, metodologi merupakan kajian tentang metode-metode yang dapat digunakan untuk melaksanakan studi Islam.
Sejak kedatangan islam pada abad ke 13M hingga saat ini, fenomena pemahaman keislaman umat islam indonesia masih ditandai oleh keadaan amat fariatif. Kondisi pehaman keislaman serupa ini barang kali terjadi pula diberbagai negara lain nya kita tidak tahu persis apakah kondisi demikian itu merupakan sesuatu yang alami yang harus ditrima sebagai suatu kenyataan untuk diambil hikmah nya atau diperlukan adanya standar umum yang perlu diterapkan diberlakukan kepada berbagai paham keagamaan yang fariatif itu, sehingga walopun keadaan nya amat berfariasi tetapi tidak keluar dari ajaran yang terkandung dalam Al-Quran dan Al-Sunah serta sejalan dengan data data historis yang dapat dipertanggung jawabkan keabsahan nya.
Kita misal nya melihat adanya sejumlah orang yang pengetahuan nya tentang keislaman cukup luas dan medalam, namun tidak terkoordinasi dan tidak terusun secara sistematik. Hal ini disebabkan karena orang tersebut ketika menerima ajaran islam tidak sistematik dan tidak terorganisasikan secara baik. Mereka biasa nya datang dari kalangan ulama yang berlajar ilmu keislaman secara otodidak atau kepada berbagai guru yang antara satu dan lain nya tidak pernah saling bertemu dan tidak pula berada dalam suatu acuan yang sama semacam kurikulum . akbat dari keadaan demikian, maka yang bersangkutan tidak dapat melihat hubungan yang terdapat dalam berbagai pengetahuan islam yang dipelajari nya itu, dan karenanya mereka tidak dapat  ditugaskan mengajar di perguruan tinggi misalnya, lantaran pengajaran keislaman diperguruan tinggi biasanya menuntut keteraturan dan pengorganisasi sebagaimana diatur dalam kurikulum dan silabus.
Selanjutnya kita melihat pula ada orang yang penguasaannya terhadap salah satu bidang keilmuan cukup mendalam, tetapi kurang memahami disiplin itu keislaman lainnya, bahkan pengetahuan yang bukan merupakan keahliannya itu dianggap sebagai ilmu yang kelasnya berada di bawah kelas ilmu yang dipelajarinya. Kita melihat  ilmu fiqih misalnya pernah menjadi primadona dan mendapatkan perhatian cukup besar. Akibat dari keadaan demikian, maka segala masalah yang dinyatakan kepadanya selalu dilihat dari pridigma ilmu fiqih. Ketika kepadanya ditanyakan tentang bagaimana cara mengatasi masalah placuran misalnya, maka jawabannya,adalah dengan cara memusnahkan tempat-tempat pelacuran tersebut, karena dianggap sebagai tempat maksiat. Padahal cara tersebut tidak akan memecahkan masalah, kerena masalah pelacuran bukan sekedar masalah keagamaan yang memerlukan ketetapan hukumnya melaikan juga masalah ketenaga kerjaan, kesenjangan sosial, struktur sosial, sistem prekonomian, dan sebagainya, yang dalam cara mengatasinya memerlukan keterlibatan orang lain.
Pada tahap berikutnya, pernah pula yang menjadi primadona masyarakat adalah ilmu kalam (teologi), sehingga setiap masalah yang dihadapinya selalu dilihat dari pradigma teologi. Lebih dari itu teologi yang dipelajarinya pun hanya berpusat pada paham asy’ari dan maturidiah (sunni), sedangkan paham lainnya dianggap sebagai sesat. Akibat dari keadaan demikian, maka tidak terjadi dialog, keterbukaan, saling menghargai, dan sebagainya.
Setelah itu muncul pula paham keislaman bercorak tasawuf yang sudah mengambil bentuk tarikan yang terkesan kurang menampilkan pola hidup yang seimbang antara urusan duniawi dan urusan ukhrawi. Dalam tasawuf ini, kehidupan dunia terkesan diabaikan. Umat terlalu mementingkan urusan akhirat, sedangkan urusan dunia menjadi terbengkalai. Akibatnya keadaan umat menjadi mundur dalam bidang keduniaan, materi, dan fasilitas hidup lainnya.
Dari beberapa contoh tentang pemahaman keislaman diatas, kita dapat memperoleh kesan bahwa hingga saat inipemaham islam yang terjadi dimasyarakat masih bercorak persial, belum utuh dan dan belum pula komprehensif. Dan sekalipun kita menjumpai adanya pemahaman islam yang sudah utuh dan komprehensif , namun semuanya itu belum tersosialisasikan secara merata keseluruh masyarakat islam. Pemahaman islam demikian baru diserap oleh sebagian sarjana yang secara kebetulan membaca karya-karya mereka dengan sikap terbuka.
Pemahaman keislaman tersebuat jelas tidak membuat yang bersangkutan keluar dari islam yang belum tersusun secara sistematik dan belum disampaikan menurut prinsip, pendekatan dan metode yang direncanakan dengan baik. Namun, untuk kepentingan akademis dan untuk membuat islam lebih responsif dan fungsional dalam memandu perjalanan umat serta menjawab berbagai masalah yang dihadapi saat ini, diperlukan metode yang dapat menghasilkan pemahaman islam yang uth dan komprehensif. Dalam hubungan ini Mukti Ali pernah mengatakan bahwa metodologi adalah masalah yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu.
Kita mengetahui bahwa pada abad pertengahan, Eropa menghabiskan waktu seribu tahun dalam keadaan stagnasi dan masa bodoh. Tetapi stagnasi dan masa bodoh itu lalu menjadi kebangkitan revolusioner yang multifaset dalam bidang sains, seni, sastra, dan semua wilayah hidup dan kehidupan manusia dan sosial. Revolusi yang mendadak dan energi yang mendadak dalam pemikiran manusia itu menghasilkan peradaban dan kebudayaan dewasa ini. Kita harus bertanya kepada diri kita mengapa orang mandeg sampai seribu tahun, dan apa yang terjadi pada dirinya yang menyebabkan perubahan yang mendadak, ia bangkit dan bangun, sehingga dalam waktu 300 tahun Eropa menemukan kebenaran kebenaran yang tidak mereka peroleh dalam seluruh waktu seribu tahun. Mengapa keadaan demikian terjadi, dicarikan jawabannya oleh ahli.
Ali Syari’ Ati (1933-1977), seorang sarjana Iran meninggal di rantau yaitu di Inggris menyatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan pemandegan dan stagnasi dalam pemikiran, peradaban, dan kebudayaan yang berlangsung hingga seribu tahun di Eropa pada abad pertengahan adalah metode pemikiran analogi dari Aristotelles. Dikala cara melihat masalah objek itu berubah, maka sains, masyarakat, dan dunia juga berubah, dan sebagai akibatnya kehidupan manusia juga berubah. Dengan demikian kita dapat mengetahui dan memahami tentang pentingnya metodologi sebagai faktor fudamental dalam renaisans.
Oleh karena itu, metode memiliki peranan sangat penting dalam kemajuan dan kemunduran. Demikian pentingnya metodologi ini, mukhti ali mengatakan bahwa yang menentukan dan membawa stagnasi dan masa kebodohan atau kmajuan bukan lah kerana ada atau tidak adanya orang-orang jenius, melainkan kerana metode penelitian dan cara melihat sesuatu. Untuk ini kita dapat mengambil contoh yang terjadi pada abad ke emat belas , lima belas dan enam belas masehi. Aristoteles (384-322M) sudah barang tentu jauh lebih jenius dari francis bacon (1561-1626); dan plato ((366-347 M) adalah lebih jenius dari roger bacon (1214-1294).





B.     STUDI ISLAM
Dikalangan para ahli masih terdapat perdebatan di sekitar permasalahn apakah studi islam (agama) dapat dimasukkan kedalam bidang ilmu pengetahuan dan agama berbeda. Pemahaman disekitar permasalahan ini banyak dikemukakan oleh para pemikir islam diblakangan ini. Amin abdullah, misalnya  mengatakan jika penyelanggaraan dan penyampaian islamic studies atau Dirasah islamiyah hanya mendengarkan dakwah keaagamaan didalam kelas, lalu apa bedanya dengan kegiatan pengajian dan dakwah yang sudah ramai diselenggarakan diluar bangku kuliah?menurut amin abdullah, pangkal tolak kesulitan pengembangan scopy wilayah kajian islamic studies atau dirasah islamiyah berakar pada kesukaran seorang agamawan untuk membedakan antara yang normativitas dan historisitas.  Pada dataran normativitas kelihatan islam kurang pas untuk dikatakan sebagai disiplin ilmu, sedangkan untuk dataran historisitas tampaknya tidaklah salah.
Perbedaan dalam melihat Islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan dengan urusan akidah dan muamalah sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut historis atau sebagaimana yang tampak dalam Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).

Adapun metode studi Islam secara lebih rinci dapat dijabarkan sebagai berikut :
  1. Metode Diakronis
Suatu metode mempelajari Islam yang menonjolkan aspek sejarah. Metode ini memberi kemungkinan adanya studi komparasi tentang berbagai penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Metode ini juga menghendaki adanya pengetahuan ,pemahaman dan penguraian ajaran – ajaran Islam dari sumber dasarnya, yakni Al-qur`an dan As-Sunnah serta latar belakang masyarakat, sejarah, budaya disamping sirah Nabi SAW dengan segala akal dan pikirannya.
  1. Metode Sinkronik – Analitis
Suatu metode mempelajari Islam yang memberikan kemampuan analisis teoritis yang sangat berguna bagi perkembangan keimanan dan mental intelek umat Islam. Metode ini semata – mata mengutamakan segi aplikatif praktis, tetapi juga mengutamakan telaah teoritik.
Metode diakronis dan metode sinkronik – analitik menggunakan asumsi dasar sebagai berikut :
  1. Islam adalah agama wahyu Ilahi yang berlainan dengan kebudayaan sebagai hasil daya cipta dan rasa manusia (Q.S. Al-Najm : 3-4).
  2. Islam adalah agama yang sempurna dan di atas segala – galanya (Q.S. Al-Maidah :3).
  3. Isla merupakan supra sistem yang mempunyai beberapa sistem dan sub sistem serta komponen dengan bagian – bagiannya dan secara keseluruhan merupakan struktur yang unik (Q.S. Fushilat :37).
  4. Wajib bagi umat Islam untuk mengajak pad yang ma`ruf dan nahi munkar (Q.S. Ali Imran :104).
  5. Wajib bagi umat Islam untuk mengajak orang lain kejalan Allah SWT (Q.S. An- Nahl : 125)
  6. Wajib bagi umat Islam untuk menyampaikan risalah Islam menurut kemampuannya .
  7. Wajib bagi sebagian umat Islam untuk memperdalam ajaran agama Islam (Q.S. Al-Taubah : 122).
  1. Metode Problem solving (hallu al-musykilat)
Metode mempelajari Islam yang mengajak pemeluknya untuk berlatih menghadapi berbagai masalah dari suatu cabang ilmu pengetahuan dengan solusinya.


  1. Metode Emperis (Tajribiyah)
Suatu metode mempelajari Islam yang memungkinkan Umat Islam mempelajari ajarannya melalui proses aktualisasi dan internalisasi norma – norma dan kaidah Islam dengan suatu proses aplikasi yang menimbulkan suatu interaksi sosial, kemudian secara deskriptif proses interaksi dapat dirumuskan dalam suatu sistem norma baru.
Metode problem solving dan metode empiris menggunakan asumsi dasar sebagai berikut :
  1. Norma (ketentuan ) kebajikan dan kemungkaran selalu ada dan diterangkan dalam Islam (Q.S. Ali Imran : 104)
  2. Ajaran Islam merupakan jalan untuk menuju ridla Allah SWT (Q.S. Al-Fath : 29).
  3. Ajaran Islam merupakan risalah atau pedoman hidup di dunia dan akhirat (Q.S. Al-Syura : 13).
  4. Ajaran Islam sebagai sumber ilmu pengetahuan (Q.S. Al-Baqarah :120 dan Al-Taubah :122)
  1. Metode Deduktif ( Al-Manhaj Al Istinbathiyah )
Suatu metode mamahami Islam dengan cara menyusun kaidah – kaidah secara logis dan filosofis dan selanjutnya kaidah tersebut diaplikasikan untuk menentukan masalah – masalah yang dihadapi.Metode ini dipakai untuk sarana meng-istimbatkan hukum syara` dan kaidah itu bener – bener bersifat penentu dalam masalah furu’ tanpa menghiraukan sesuai tidaknya dengan madzhabnya. Metode ini dikenal dengan metode mutakallimin atau metode syafi`iyah.
  1. Metode Induktif (al – Manhaj al-Istiqraiyah)
Suatu metode memahami Islam dengan cara menyusun kaidah – kaidah hukum untuk diterapkan kepada masalah – masalah furu` yang disesuaikan dengan madzhabnya terlebih dahulu.
Metode pengkajiannya dimulai dari masalah – masalah khusus , lalu dianalisis, kemudian disusun kaidah hukum dengan catatan setelah terlebih dahulu disesuaikan dengan madzhabnya.


C.    METODE MEMAHAMI ISLAM
Ada beberapa tokoh yang mengemukakan pendapat tentang metode atau cara memahami Islam, diantaranya:
1.      Menurut Nasruddin Razak
Upaya memahami islam secara baik, benar dan kompherensif perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.       Islam harus dipelajari dari sumbernya yang asli yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah saw. Kekeliruan memahami Islam, karena orang hanya mengenalnya dari sebagian ulama yang telah jauh dari bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau melalui pengenalan dari sumber kitab-kitab fikih dan tasawuf yang semangatnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
b.      Islam harus dipelajari secara integral, tidak parsial. Artinya dipelajari secara menyeluruh sebagai satu kesatuan, tidak hanya sebagian saja. Memahami Islam secara parsial akan membahayakan, menimbulkan sikap skeptis, bimbang, dan penuh keraguan.
c.       Islam perlu dipelajari dari kepustakaan atau buku-buku yang ditulis oleh para ulama besar, cendikiawan muslim, sarjana-sarjana Islam, karena pada umumnya mereka memiliki pemahaman yang baik, yaitu pemahaman yang lahir dari perpaduan ilmu yang dalam terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah saw. dengan pengalaman dari praktik ibadah yang dilakukannya setiap hari.
d.      Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan-ketentuan normatif teologis yang ada dalam Al-Qur’an, baru kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris dan sosiologis yang ada di masyarakat.
e.       Islam dipelajari dan dihubungkan dengan berbagai persoalan yang dihadapi msnusia dalam masyarakat dan dilihat relasi serta relevansinya dengan persoalan-persoalan politik, ekonomi, sosial, budaya, sains sepanjang sejarah manusia terutama sejarah umat Islam.
f.       Islam dipelajari dengan bantuan ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang sampai sekarang, seperti ilmu-ilmu alamiah, ilmu-ilmu sosial, serta ilmu-ilmu kemanusiaan.
g.      Islam dipelajari dengan metode yang sesuai dengan agama dan ajaran Islam.

2.       Menurut Ali Syari’ati
Ali Syari’ati lebih lanjut menyatakan, ada berbagai cara dalam memahami Islam melalui metode perbandingan, yaitu :
1.      Mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan sesembahan agama-agama lain.
2.      Mempelajari kitab Alquran dan membandingkannya dengan kitab-kitab ajaran agama lainnya
3.      Mempelajari kepribadian Rasulullah dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh besar pembaruan yang pernah hidup dalam sejarah.
4.      Mempelajari tokoh-tokoh Islam terkemuka dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh utama agama maupun aliran-aliran lain.

3.      Menurut Mukti Ali,
 terdapat metode lain dalam memahami Islam yaitu metode tipologi. Metode ini oleh banyak ahli sosiologi dianggap objektif, berisi klasifikasi topik dan tema yang mempunyai tipe yang sama. Terdapat lima aspek atau ciri dari agama Islam, yaitu
1)      aspek ketuhanan,
2)      aspek kenabian,
3)      aspek kitab suci,
4)      aspek keadaan sewaktu munculnya nabi dan orang-orang yang didakwahinya serta individu-individu terpilih yang dihasilkan oleh agama itu.


4.      Menurut Ali Anwar Yusuf
 dalam bukunya Studi Agama Islam, terdapat tiga metode dalam memahami agama Islam , yaitu:
1. Metode Filosofis
Filsafat adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang membahas segala sesuatu dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan sedalam-dalamnya sejauh jangkauan kemampuan akal manusia, kemudian berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal dengan meneliti akar permasalahannya. Memahami Islam melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengalaman agama yang bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama dengan tidak memiliki makna apa-apa atau kosong tanpa arti. Namun bukan pula menafikan atau menyepelekan bentuk ibadah formal, tetapi ketika dia melaksanakan ibadah formal disertai dengan penjiwaan dan penghayatan terhadap maksud dan tujuan melaksanakan ibadah tersebut.
2. Metode Historis
Metode historis ini sangat diperlukan untuk memahami Islam, karena Islam itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan sangat berhubungan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Melalui metode sejarah, seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya dan hubungannya dengan terjadinya suatu peristiwa.
3. Metode Teologi
Metode teologi dalam memahami Islam dapat diartikan sebagai upaya memahami Islam dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari satu keyakinan. Bentuk metode ini selanjutnya berkaitan dengan pendekatan normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang Islam dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Allah yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dari beberapa metode diatas kita melihat bahwa metode yang dapat digunakan untuk memahami Islam secara garis besar adalah dengan metode Komparasi, yaitu suatu cara memahami agama dengan membandingkan seluruh aspek yang ada dalam agama Islam tersebut dengan agama lainnya, dengan demikian akan dihasilkan pemahaman Islam yang obyektif dan utuh.
Metode ilmiah digunakan untuk memahami Islam yang terkandung dalam kitab suci. Melalui metode teologis normatif ini seseorang memulai dari meyakini Islam sebagai agama yang mutlak benar. Hal ini didasarkan pada alasan, karena agama bersal dari Tuhan, dan apa yang berasal dari Tuhan Mutlak benar, maka agamapun mutlak benar. Setelah itu dilanjutkan dengan melihat agama sebagai norma ajaran yang berkaitan dengan aspek kehidupan manusia yang secara keseluruhan diyakini amat ideal. Melalui metode teologi normatif yang tergolong tua usianya ini dapat dihasilkan keyakinan dan kecintaan yang kuat, kokoh dan militan pada Islam, sedangkan metode ilmiah yang dinilai sebagai tergolong muda usianya ini dapat dihasilkan kemampuan menerapkan Islam yang diyakini dan dicintainya itu dalam kenyataan hidup serta memberi jawaban terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi manusia.







III
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.      metodologi pemahaman islam adalah  cara-cara yang dikemukakan oleh seseorang atau kelompok dengan tidak keluar dari pedoman agama Islam itu sendiri (Al-Qur’an dan hadits) supaya dapat magetahui bagaimana cara memahami agama islam dengan benar.
2.      Metodologi dalam hal pemahaman Islam digunakan untuk mengetahui metode-metode yang tepat agar dapat diperoleh hasil yang utuh dan objektif dalam pemahaman Islam
3.     Metode pemahaman islam terbagi menjadi 3 bagian, yaitu :

1.      Kegunaan metodologi

Islam merupakan agama yang untuk memahaminya secara utuh, harus dilihat dari berbagai dimensi. Di Indonesia yang terdiri dari berbagai kebudayan dan berbagai kepentingan, Islam dipahami sesuai dengan kepentingan masing-masing pihak. Sehingga terkesan bahwa pemahaman Islam yang terjadi di masyarakat masih bercorak parsial, belum utuh dan belum pula komprehensif. Dan sekalipun dijumpai adanya pemahaman Islam yang utuh dan komprehensif, namun hal itu belum tersosialisasikan secara merata ke seluruh masyarakat.

2.      Studi islam

Dikalangan para ahli masih terdapat perdebatan di sekitar permasalahn apakah studi islam (agama) dapat dimasukkan kedalam bidang ilmu pengetahuan dan agama berbeda. Pemahaman disekitar permasalahan ini banyak dikemukakan oleh para pemikir islam diblakangan ini.misalnya : Amin abdullah

3.      Metode memahami islam
Ada beberapa tokoh yang mengemukakan pendapat tentang metode atau cara memahami Islam, diantaranya:
1.      Menurut Nasruddin Razak
2.      Menurut Ali Syari’ati
3.      Menurut Mukti Ali,
4.      menurut Ali Anwar Yusuf
Dalam memahami Islam dapat digunakan beberapa metode, di antaranya metode filosofis, historis, dan teologis.

Rabu, 06 Mei 2015

MAKALAH FIQH MUAMALAH I IJARAH



                                                                                                                                      I        
 PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang Masalah
Muamalah merupakan bagian dari rukun islam yang mengatur hubungan antara seseorang dan orang lain. Contoh hukum islam yang termasuk muamalah salah satunya adalah ijarah (sewa-menyewa dan upah).Seiring dengan perkembangan zaman, transaksi muamalah tidak terdapat miniatur dari ulama klasik, transaksi tersebut merupakan terobosan baru dalam dunia modern.Dalam hal ini kita harus cermat, apakah transaksi modern ini memiliki pertentangan tidak dengan kaidah fiqih? Jika tidak, maka transaksi dapat dikatakan mubah.Sebelum dijelaskan mengenai ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna operasional ijarah itu sendiri. Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqh Syafi’I, berpendapat bahwa ijarah berarti upah-mengupah, hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah-mengupah, mu’jir dan musta’jir, sedangkan Kamaluddin A. Marzuki sebagai penerjemah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa-menyewa.
Dari dua buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda, sedangkan upah digunkan untuk tenaga. Namun dalam bahasa Arab ijarah adalah sewa dan upah. Sehingga ketika kita melihat bagaimana aplikasi dari ijarah itu sendiri dilapangan, maka kita bisa mendapati sebagai mana yang akan dibasas dalam makalah ini. Yangmana diharapkan dengan hadirnya makalah ini dapat memberikan masukan ilmu pengetahuan kepad kaum muslimin mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sewa-menyewa. Ijarah merupakan menjual manfaat yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain dengan menggunakan ketentuan syari’at islam. Kegiatan ijarah ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari baik dilingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar kita. Oleh sebab itu kita harus mengetahui apa pengertian dari ijarah yang sebenarnya, rukun dan syarat ijarah, dasar hukum ijarah, manfaat ijarah dan lain sebagainya mengenai ijarah. Karena begitu pentingnya masalah tersebut maka permasalahan ini akan dijelaskan dalam pembahasan makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Ijarah?
2.      Apayang menjadi dasar hukum ijarah?
3.      Apa saja yang menjadi Rukun dan syarat Ijarah?
4.      Apa saja yang menjadi dasar hukum Ijarah?
5.      Bagaimana Pandangan Ulama tentang ijarah ?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui pengertian Ijarah
2.      Mengetahui dasar-dasar hukum Ijarah
3.      Mengetahui rukun dan syarat Ijarah
4.      Mengetahui dasar-dasar hukum Ijarah
5.      Mengetahui pandangan ulama tentang Ijarah







               II.             
PEMBAHASAN
A.                Pengertian Ijarah
            Menurut etimologi, ijarahadalah  بيع المنفعة(menjual manfaat).[1]Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain.[2]Demikian pula artinya menurut terminologi syara’. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan dikemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih:
1.                  Ulama Hanafiyah:
عقد على المنافع بعوض
Artinya:
“Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
2.                  Ulama Asy-Syafi’iyah:
عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذل والاءباحة بعوض معلوم.
Artinya:
“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
3.                  Ulama Malikiyah dan Hanabilah:
تمليك منافع شىء مباحة مدة معلومة بعوض.
Artinya:
“Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”
            Ada yang menterjemahkan, ijarah sebagai jual beli jasa (upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menterjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari  barang. Jadi ijarah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu ijarah atas jasa dan ijarah atas benda.

            Jumhur ulama fiqh berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya.Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, seb cab semua itu bukan manfaatnya, tetapi bendanya. Namun sebagian ulama memperbolehkan mengambil upah mengajar Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan agama, sekedar untuk memenuhi kaperluan hidup, karena mengajar itu telah memakai waktu yang seharusnya dapat mereka gunakan untuk pekerjaan mereka yang lain.[3]
B.                 Landasan Syara’ atau Dasar Hukum Ijarah
            Hampir semua ulama fiqh sepakat bahwa ijarah disyari’atkan dalam Islam.Namun ada sebagian yang tidak menyepakati dengan alasan bahwa ijarah adalah jual-beli barang yang tidak dapat dipegang (tidak ada).Sesuatu yang tidak ada tidak dapat dikategorikan jual beli.
Dalam menjawab pandangan ulama yang tidak menyepakati ijarah tersebut, Ibn Rusyd berpendapat bahwa kemanfaatan walaupun tidak berbentuk, dapat dijadikan alat pembayaran menurut kebiasan (adat). Dan mengenai hal ini dapat dikatakan bahwa meski tidak terdapat manfaat pada saat terjadinya akad, tetapi pada dasarnya akan dapat dipenuhi. Sedang dari manfaat-manfaat tersebut, hukum syara’ hanya memperhatikan apa yang ada pada dasarnya yang akan dapat dipenuhi, atau adanya keseimbangan antara dapat dipenuhi dan tidak dapat dipenuhi.[4]
Landasan ijarah menurut jumhur ulama adalah sebagai berikut:
a.                   Al-Qur’an
فان ارضعن لكم فاتوهن اجورهن (الطلاق: 6)
Artinya:
Jika mereka menyusukan  (anak-anakmu)untukmu, maka berikanlah mereka upahnya.” (QS. Ath-Thalaq: 6)
b.                  As-Sunnah

اعطوا الاجير اجره قبل ان يجف عرقه. (رواه ابن ماجه عن ابن عمر)
Artinya:
“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.”(HR. Ibn Majah dari Ibn Umar)
c.                   Ijma’
            Umat Islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.
C.                Rukun dan Syarat Ijarah
Rukun-rukun dan syarat-syarat ijarahadalah sebagai berikut.
1.      Mu’jir dan musta’jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa-menyewa atau upah-mengupah. Mu’jir adalah yang memberikan upah dan yang menyewakan, musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu, disyaratkan pada mu’jir dan musta’jir adlah baligh, berakal, cakap melakukan tasharruf  (mengendalikan harta), dan saling meridhai.


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan bathil, kecuali dengan perniagaan secara suka sama suka (Al-Nisa:29).
Bagi orang berakad ijarah juga disyaratkan mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan sempurnah sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.
2.      Shighat ijab Kabul antara mu’jir dan musta’jir , ijab Kabul sewa-menyewa dan upah-mengupah, ijab Kabul sewa-menyewa misalnya: “Aku sewakan mobil ini kepadamu setiap hari Rp5.000,00”, maka musta’jir menjawab “ Aku terima sewa mobil tersebut dengan harga demikian setiap hari”. Ijab Kabul upah-mengupah misalnya seseorang berkata, “Kuserahkan kebun ini kepadamu untuk dicangkuli dengan upah setiap hari Rp5.000,00”, kemudian musta’jir menjawab “Aku akan kerjakan pekerjaan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapkan.”
3.      Ujrah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa-menyewa maupun dalan upah-mengupah.
4.      Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah-mengupah, disyaratkan pada barang yang disewakan dengan beberapa syarat berikut ini.
a.       Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat dimanfaatkan kegunaanya.
b.      Hendaklah benda yang menjadi objek sewa-menyewa dan upah mengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaannya (khusus dalam sewa-menyewa).
c.       Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah (boleh) menurut syara’ bukan hal yang dilarang (diharamkan)
d.      Benda yang disewakan disyaratkan kekal ‘ain (zat)-Nya hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam akad.
D.                Sifat Ijarah
            Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang sifat ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak.Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa akad ijarah itu mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu pihak yang berakad, seperti salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan bertindak hukum.Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan.[5] Akibat perbedaan pendapat ini terlihat dalam kasus apabil;a salah seorang meninggal dunia, maka akad ijarah batal, karena manfaat tidak boleh diwariskan. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa manfaat itu boleh diwariskan karena termasuk harta (al-mal).Oleh sebab itu, kematian salah satu pihak yang berakad tidak membatalakn akad ijarah.

E.                 Hukum Ijarah
            Hukum ijarah shahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih, sebab ijarah termasuk jual beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.
            Adapun hukum ijarah rusak, menerut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad.Ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat.Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya.
Jafar dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah  fasid sama dengan jual beli fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang sewaan.
F.                 Macam-Macam Ijarah
            Ijarah terbagi menjadi dua bagian, yaitu:[6][7]
a.                   Ijarah yang bersifat manfaat, umpamanya adalah sewa-menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian, dan pehiasan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk dipergunakan, maka para ulama sepakat menyatakan boleh dijadikan objek sewa-menyewa, jadi penyewaan barang-barang tersebut tergantung pada kemanfaatannya.
b.                  Ijarah yang bersifat pekerjaan (jasa) ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Menurut para ulama ijarah ini hukumnya boleh apabila pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, tukang sepatu dan lain-lain.Ijarah ini ada yang bersifat pribadi seperti menggaji pembantu rumah tangga, dan ada yang bersifat serikat, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang menjual jasanya untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, tukang jahit dan lain-lain.Kedua bentuk ijarah ini menurut para ulama fiqh hukumnya boleh.

G.                Perbedaan Diantara Yang Akad
            Seringkali terjadi perbedaan pendapat diantara kedua pihak yang melakukan akad (sewa-menyewa) tentang jumlah upah yang harus diterima atau diberikan padahal ijarah dikategorikan shahih, baik sebelum jasa diberikan maupun sesudah jasa diberikan.
            Apabila terjadi perbedaan sebelum diterimanya jasa, keduanya harus bersumpah, sebagaimana disebutkan pada hadist Rasulullah s.a.w.:
اذا اختلف المتبايعان تحالفا وترادا. (رواه اصحاب السنن الاربعة واحمد والشافع)
Artinya:
“Jika terjadi perbedaan di antar orang yang berjual beli, keduanya harus saling bersumpah dan mengembalikan.” (HR. Ashab Sunan Al-Arba’ah, Ahmad, dan Imam Syafi’I)
            Hadist tersebut meskipun berkaitan dengan jual-beli, juga relevan dengan ijarah.Dengan demikian, jika keduanya bersumpah, ijarah menjadi batal.

H.                Berakhirnya Akad ijarah
            Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad ijarah akan berakhir apabila:
a.                   Tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah berakhir.
b.                  Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya seorang yang berakad, karena kad ijarah, menurut mereka, tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad ijarahtidak batal dengan wafatnya salah seorang berakad, karena manfaat, menurut mereka, boleh diwariskan dan ijaraha sama denganjual beli, yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.
c.                   Objek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar.
d.                  Menurut ulama Hanafiyah, apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti rumah yang disewakan disita negara karena terkait utang yang banyak, maka akad iajarah batal. Uzur-uzur yang dapat membatalkan akad  ijarah itu, menurut ulama Hanafiyah adalah salah satu pihak jatuh muflis, dan berpindah tempatnya penyewa, misalnya, seorang digaji untuk menggali sumur disuatu desa, sebelum sumur itu selesai, penduduk desa itu pindah kedesa lain. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, uzur yamng boleh mebatalkan akad ijarah itu hanyalah apabila objeknya mengandung cacat atau manfaatnya yang dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran dan  dilandabanjir.

I.                   Pengertian  upah  secara klasik dan kontenporer
a.                  Secara kontemporer
Menurut Dewan Penelitian Perupahan Nasional, upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dan akan dilakukan, berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup yang layak bagi kemanusiaan dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, undang-undang dan peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi dan penerima kerja.
b.                  Secara  klasik
Hadits Rasulullah saw tentang upah yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :
“ Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).
Dari hadits di atas, maka dapat didefenisikan bahwa Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (Adildan Layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akhirat (imbalan yang lebih baik).
Upah mengupah (ijaratu al-ajir) adalah memberikan suatu jasa (berupa tenaga maupun keahlian) pada pihak tertentu dengan imbalan sejumlah upah (ujrah).Upah mengupah disebut juga dengan jual beli jasa. Misalnya ongkos kendaraan umum, upah proyek pembangunan, dan lain-lain.
Pada dasanya pembayaran upah harus diberikan seketika juga, sebagaimana jual beli yang pembayarannya waktu itu juga. Tetapi sewaktu perjanjian boleh diadakan dengan mendahulukan upah atau mengakhirkan. Jadi pembayarannya sesuai dengan perjanjiannya. Tetapi kalau ada perjanjian, harus segera diberikan manakala pekerjaan sudah selesai. Nabi bersabda: "Upah harus diberikan sebelum peluhnya kering."
Kematian orang yang mengupah atau diupah tidak membatalkan akad pengupahan. Artinya, kalau orang yang mengupah mati, padahal permintaannya sudah dikerjakan oleh orang yang diupah, keluarganya wajib memberikan upahnya. Tetapi kalau orang yang diupahnya mati sebelum menerima upahnya, ahli warisnya menerima upahnya. Tetapi kalau mati sebelum menyelesaikan pekerjaan, urusannya di tangan Allah.
Dalam transaksi ini, bentuk pekerjaan (al-‘amal dan al-juhd), lamanya pekerjaan (muddatu al-‘amal) dan upah (ujrah) harus jelas.Rasullullah SAW berkata:”Apabila salah seorang diantara kalian mempekerjakan seseorang, maka hendaknya memberitahukan upahnya kepada orang itu”,Ketidakjelasan dalam ijarah hukumnya fasad.







               III.           
  PENUTUP
A.                Kesimpulan
Dari penjelasan dan pemaparan ijarah diatas baik itu definisi, syarat dan rukun-rukunnya dapat penulis simpulkan bahwa:
a.       Ijarah adalah salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain dengan ada imbalannya atau upahnya.
b.      Dalam memaknai ijarah itu sendiri banyak perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Namun intinya mereka menyetujui adanya ijarah setelah memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh masing-masing para ulama, sehingga meskipun terjadi perbedaan didalamnya selalu ada pemecahan persoalan terhadap permasalahan-permasalan yang timbul dikarenakan hal-hal yang terkait dengan ijarah itu sendiri.
B.                 Kritik dan saran
Penulis menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang tidak perna luput dari kesalahan, sehingga secara pribadi penulis sangat megharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini agar nantinya dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca khususnya bagi penulis sendiri.







DAFTAR PUSTAKA
Moh. Zuhri, Terjemah Fiqh Empat Madzhab, Semarang: Asy-Syifa, 1993
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Bandung: Sinar Baru Algensido, 1994
Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatu’l Mujtahid, Semarang: Asy-Syifa, 1990
Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2004
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya media Pratama, 2000
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002
Karim, Helmi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997


[1] Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, (Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2004), h.121
[2] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya media Pratama, 2000), h.228          
[3]Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), (Bandung: Sinar Baru Algensido, 1994), h.304
[4] Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatu’l Mujtahid, (Semarang: Asy-Syifa, 1990), h. 196
[5]Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si. Fiqhi Muamalah, cet. Jakarta : 2005 h. 117-118
[6]Moh. Zuhri, Terjemah Fiqh Empat Madzhab, (Semarang: Asy-Syifa, 1993), h.169-170