HAMAS FAI UMI

HAMAS FAI UMI

Rabu, 08 April 2015

MAKALAH FIQH MUAMALAH GADAI (RAHN)

GADAI
 









OLEH :
RIA SAIDAH
05120130003


PRODI HUKUM KELUARGA
JURUSAN SYARIAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2014





Kata pangantar

Bismillaahirrohmanirroiim
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Semesta Alam yang telah mengajarkan manusia tentang apa yang tidak diketahuinya. Salawat dan Salam kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW sebagai teladan dalam kehidupan sekaligus sebagai rahmatan lil’alamin.
Kehadiran sebuah makalah sebagai pegangam bagi mahasiswa sangatlah berarti dalam proses belajar mengajar, karena itu melalui makalah tentang Pinjaman dan Jaminan ini diharapkan dapat mengantar dan membantu mahasiswa di Jurusan Syariah Prodi Hukum Keluarga Universitas Muslim Indonesia dalam pencapaian kurikulum yang diinginkan.
Dalam penyusunan isi makalah ini dirasakan masih jauh dari sempurna, karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Akhir kata saya sangat berharap buku ini kiranya dapat menjadi bahan untuk saling mengisi bagi para mahasiswa.

                                                                                        Makassar, 24  oktober 2014

                                                                                                                                                                                                                
                                                                                         Ria saidah                               








DAFTAR ISI
Kata Pengantar………………………………………………………………..
Daftar isi ..……………………………………………………………………
I Pendahuluan
A.    Latar Belakang………………………………………………………..
B.     Rumusan Masalah ..………………………………………………….
C.     Tujuan………………………………………………………….. ……
II Pembahasan
A.    Pengertian Rahn…..…………………………………………………….
B.     Sifat Rahn…………………………………. …………….......................
C.     Dasar Hukum Rahn…………………………………………………..…
D.    Rukun dan Syarat Gadai ………………….…………………………….
E.     Pengambilan Manfaat Barang Gadai…………………………………...
F.      Pandangan Ulama Mengenai RukunGadai………………......................
G.    Perbedaan dan Persamaan Gadai Syariah dan Gadai Konvensional……
H.    Perlakuan Bunga dan Riba dalam Perjanjian Gadai………………….
III Penutup
A.    Kesimpulan..............................................................................................
Daftar Pustaka.………………………………………………………………….......







I.                   PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang Masalah
Dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi, ada bermacam-macam cara untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara gadai / rahn(الرهن). Para ulama’ berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba apabila memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut, sehingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tanpa mengetahui hukum dasar gadai tersebut. Dalam syari’at bermuamalah, seseorang tidaklah selamanya mampu melaksanakan syari’at tersebut secara tunai dan lancar sesuai dengan syari’at yang ditentukan. Ada kalanya suatu misal ketika sedang dalam perjalanan jauh seseorang kehabisan bekal, sedangkan orang tersebut tidaklah mungkin kembali ke tempat tinggalnya untuk mengambil perbekalan demi perjalanan selanjutnya.
Dalam kehidupan bisnis baik Klasik dan Modern, masalah penggadaian tidak terlepas dari masalah perekonomian. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai pnggadaian dijelaskan sebagai berikut .Selain daripada itu, keinginan manusia untuk memnuhi kebutuhannya, cenderung membuat mereka untuk saling bertransaksi walaupun dengan berbagai kendala, misalnya saja kekurangan modal, tenaga dsb. maka dari itu, dalam islam diberlakukan syari’at gadai.
Gadai secara umum berupa transaksi peminjaman sejumlah uang dengan memberikan jaminan berupa perhiasan (emas, perak platina), barang elektronik (TV, kulkas, radio, tape, video), kendaraan (sepeda, motor, mobil), barang-barang pecah belah, mesin jahit, mesin motor kapal, tekstil (kain batik, permadani) dan barang lainnya yang dianggap bernilai. Adapun pengertian hukum dan syaratnya akan dibahas dalam makalah ini.

B.                 Rumusan Masalah
1.                  Apa Hakekat / pengertian rahn ?
2.                  Bagaimana sifat rahn ?
3.                  Apa yang mendasari diadakannya rahn ?
4.                  Apa rukun dan syarat rahn?
5.                  Bagaimana cara mengambil manfaat rahn ?
6.                  Bagaimana pandangan Ulama tentang rahn?
7.                  Apa perbedaan dan persamaan antara gadai syariah dengan gadai konvensional?
C.                Tujuan Makalah
1.                  Untuk mengetahui hakekat dari rahn
2.                  Untuk mengetahui sifat rahn
3.                  Untuk mengetahui dasar hukum rahn
4.                  Untuk mengetahui rukun dan syarat rahn
5.                  Untuk mengetahui cara pengambilan manfaat dari rahn
6.                  Untuk mengetahui pandangan-pandangan ulama terhadap rahn
7.                  Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan gadai syariah dan gadai konvensional








II. PEMBAHASAN
A.                Pengertian Rahn
Menurut bahasa, gadai/ ar-rahn (الرهن) berarti al-stubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn (الرهن) adalah terkurung atau terjerat.[1]
            Menurut istilah syara’, yang dimaksut dengan rahn adalah:
1.      Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin    diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.[2]
2.      Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan hutang selama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.[3]
3.      Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam hutang-piutang.[4]
4.      Gadai ialah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.[5]
Ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn :
  1. Menurut ulama Syafi’iyah:
Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang.
  1. Menurut ulama Hanabilah :
Harta yang dijadikan jaminan hutang sebagai pembayar harga (nilai) hutang ketika yang berutang berhalangan (tidak mampu membayar) hutangnya kepada pemberi pinjaman.[6]
B.                 Sifat Rahn
Secara umum rahn dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan murathin kepada rahn adalah uang. Bukan penukar atas barang yang digadaikan.
      Rahn juga termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan qirad.[7]

C.                Dasar  Hukum Rahn
Sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meminjam dengan jaminan  (brog) adalah firman Allah Swt.

وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَه وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ ُ

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang ( oleh berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya ( Al-Baqarah 283).
Syaikh Muhammad Ali as-sayis berpendapat, bahwa ayat Al-Qur’an tersebut adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian bila seseorang hendak melakukan transaksi utang-piutang yang memakai jangka waktu dengan orang lain, dengan cara menjaminkan sebuah barang kepada orang yang berpiutang rahn (الرهن).

Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a berkata:

عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – قال : لَقَدْ رَهَنَ النَّبِىُّ – صل الله عليه وسلم – دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِىٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا ، ى
 “ Rasullah Saw, telah meruguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga itu untuk keluarga beliau”. (HR. Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).
                        Dari hadist tersebut dapat dipahami bahwa bermualah dibenarkan juga dengan non-muslim dan harus ada jaminan sebagai pegangan, sehingga tidak ada ke khawatiran bagi yang memberi  piutang.
Para ulama’ semua berpendapat, bahwa perjanjian gadai hukumnya mubah (boleh). Dan itu termuat dalam DNS Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002, Namun ada yag berpegang pada zahir ayat, yaitu gadai hanya diperbolehkan dalam keadaan berpergian saja, seperti paham yang di anut oleh Madhab Zahiri, Mujahid dan al-Dhahak. Sedangkan jumhur (kebanyakan ulama) membolehkan gadai, baik dalam keadaan berpergian maupun tidak, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti telah disebutkan dalam hadist di atas. [8]
D.                Rukun dan Syarat Gadai
Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun, antara lain yaitu:
1.      Akad dan ijab Kabul
2.      Aqid, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun syarat yang berakad adalah ahli tasyarruf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai. Menurut ulama Syafi’iyah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dam mumyyis, tetapi tidak disyaratkan harus baligh.[9]
3.      Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda uyang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tiddak rusak sebelum janji utang harus dibayar. Rosul bersabda: “Setiap barang yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan barang gadai”
4.      Ada hutang, disyaratkan keadaan hutang telah tetap.
Menurut ulam Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain:[10]
a)      Dapat diperjual belikan
b)      Bermanfaat
c)      Jelas
d)     Milik rahin
e)      Bisa diserahkan
f)       Tidak bersatu dengan harta lain


g)      Dipegang oleh rahin
h)      Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.
Menurut Sayyid Sabiq bahwa gadai itu baru dianggap sah apabila memenuhi empat syarat, yaitu:
1)      Orangnya sudah dewasa.
2)      Berpikiran sehat.
3)      Barang yang akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad gadai dan barang gadaian itu  dapat diserahkan/diserahkan kepada penggadai.
4)      Barang atau benda yang dapat dijadikan jaminan itu dapat berupa emas, berlian dan benda bergerak lainnya dan dapat pula surat-surat berharga ( surat tanah atau surat rumah).[11]
E.                 Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan para ulama’ berbeda pendapat, diantara jumhur fuqaha dan ahmad.
Jumhur fuqoha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang terdapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
Rasul bersbada:
“Setiap orang yang menarik manfaat adalah termasuk riba” ( riwayat Harits bin Abi Usamah).
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraaan atau binatang itu ada padanyaJika dia dibiayai oleh pemiliknya, maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut.
Rasul bersabda:

الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَب
ُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ

“ Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiyayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiyayaannya, bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya”.[12]
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai tersebut ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus membelikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi yang di bolehkan disini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.[13]
F.                 Pandangan Ulama Mengenai Rukun gadai
Rukun gadai menurut Abd al-Rahman al-Jaziri ada tiga yaitu Aqid, Maqud alaih (yang diakadkan), Shighat (akad gadai). Ibnu Rusyd dalam kitabnya menjabarkan secara detil mengnai rukun gadai beserta pendapat para imam madzhab. Ia mengatakan rukun gadai terdiri dari tiga bagian:
Pertama: Orang yang menggadaikan
Tidak ada perselsihan bahwa di antara sifat-sifat orang yang menggadaikan adalah mahjur alaih dan dikenal sebagai biasa melunasi hutang. Washi (orang yang dipesan untuk mengurus wasiat) boleh menggadaikan untuk kepentingan orang yang berada dalam kekuasaanya manakala tindakan tersebut untuk melunasi hutang dan memang diperlukan, pendapat ini dikemukakan oleh imam Malik.
Menurut Syafi’i, washi dibolehkan menggadaikan karena ada kepentingan yang jelas. Menurut Malik, budak mukatab (budak yang berupaya memerdekakan dirinya dengan cara mencicil) dan orang yang diberi izin boleh menggadaikan. Menurut Sahnun, jika seseorang menerima gadai karena harta yang dihutangkan maka hal itu tidak boleh, maka dalam hal ini Syafi’i juga mengemukakan pendapat yang sama.
Malik dan Syafi’i sependapat bahwa orang bangkruttidak boleh menggadaikan, namun Abu Hanifah membolehkan bersamaan dengan itu tidak ada pendapat yang tegas dari Malik berkenaan dengan orang yang habis hartanya karena hutang, apakah ia boleh menggadaikan? Dalam arti, apakah perbuatannya itu mengikat atau tidak? Menurut pendapat Malik yang terkenal ia tidak boleh menggadaikan, yakni sebelum ia menjadi bangkrut.
Kedua: Akad gadai
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa transaksi gadai itu bisa sah dengan memenuhi tiga syarat. Pertama, harus berupa barang, karena hutang tidak bisa digadaikan. Kedua, kepemilikan barang yang digadaikan tidak terhalang, seperti mushaf. Malik membolehkan penggadaikan mushaf, tetapi penerima gadai dilarang membacanya. Perselisihan dalam hal ini berpangkal pada jual beli. Ketiga, barang yang digadaikan bisa dijual manakala pelunasan hutang itu sudah jatuh tempo.
Menurut imam Malik menggadaikan barang yang tidak boleh dijual, itu boleh, seperti tanaman tani dan buah-buahan yang belum layak dipetik. Jika sudah layak dipetik, maka menurut Malik boleh dijual untuk melunasi hutang yang sudah jatuh tempo. Tentang penggadaian buah yang belum layak dipanen, dari Syafi’i ada dua pendapat, boleh menggadaikan, dan jika masa hutang sudah jatuh tempo, maka buah tersebut bisa dijual dengan syarat dipetik. Menurut Abu Hamid, pendapat yang paling benar adalah yang membolehkan. Bagi Malik menggadaikan barang yang belum jelas nilainya seperti dinar dan dirham yang sudah dicetak, itu boleh.
Menurut Malik dan Syafi’i, kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak menjadi syarat gadai. Bahkan keduanya membolehkan barang gadaian itu berstatus pinjaman. Para fuqaha sepakat bahwa di antara syarat gadai adalah ikrar penggadaian bahwa barang gadaian harus berada di tangan penerima gadaian. Kemudian mereka berselisih pendapat apabila penerima gadai menerima barang tersebut dengan cara merampas, kemudian orang yang dirampas barangnya itu menyatakan barang tersebut sebagai barang gadai an yang ada di tangannya. Dalam hal ini imam Malik membolehkan pemindahan barang yang dirampas itu dari tanggungan ghashab menjadi tanggungan gadai. Orang yang dirampas barangnya itu menganggap barangnya tersebut sebagai barang gadai di tangan perampas, sebelum ia menerima barang itu.
Berbeda dengan Malik, maka menurut Syafi’i, tidak boleh, bahkan barang itu tetap berada dalam tanggungan ghashab, kecuali jika orang yang dirampas menerima kembali barangnya. Dalam kaitan ini pula fuqaha pun berselisih pendapat tentang penggadaian bagian barang dari milik bersama. Menurut Abu Hanifah tidak boleh, tetapi menurut Malik dan Syafi’i boleh.
Ketiga: Barang yang digadaikan
Aturan pokok dalam madzhab Maliki bahwa gadai itu dapat dilakukan untuk semua barang yang berharga dan dapat diperjual belikan kecuali jual beli mata uang itu harus tunai. Karena itu, sharf tidak bisa menjadi transaksi gadai. Begitu pula modal salam, meski pun menurut Malik, lebih ringan dibanding sharf.
Sekelompok fuqaha zahiri berpendapat bahwa akad gadai hanya berlaku pada barang pesanan. Demikian itu karena ayat yang berkenaan dengan gadai itu menjelaskan posisi utang piutang barang dagangan, dan menurut mereka, itu transaksi pesanan.
Menurut madzhab Maliki dibolehkan mengambil gadai pada salam hutang, ghashab harga barang-barang konsumsi, denda tindak kriminal pada harta benda, serta pada tindak penganiayaan secara sengaja yang tidak ada qishashnya, seperti al-Ma’mumah dan al-Jaifah.
Gadai juga dibolehkan pada barang pinjaman yang diboleh tanggungan dan tidak dibolehkan pada barang pinjaman yang tidak di bawah tanggungan. Gadai juga di bolehkan pada sewa menyewa. Dibolehkan pula pada upah jasa sesudah bekerja, bukan sebelumnya. Demikian pula gadai bisa diadakan pada mas kawin tetapi tidak boleh pada hudud, qishash atau proses kemerdekaan budak.
Dalam hubungan ini menurut pendapat ulama Syafi’iyah, barang yang digadaikan itu memiliki tiga syarat. Pertama, berupa hutang karena barang hutangan itu tidak dapat digadaikan. Kedua, menjadi tetap, karena sebelum tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika seseorang menerima gadai dengan imbalan sesuatu dengan yang dipinjamnya. Tetapi Malik membolehkan hal ini. Ketiga, barang yang digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran yang akan terjadi, baik wajib atau tidak seperti gadai dalam kitabah. Pendapat ini mirip dengan madzab Maliki.[14]
G.                Perbedaan dan Persamaan Gadai Syariah dan Gadai Konvesonal  
1.      pengertian 
  1. Pegadaian Syari’ah
Gadai dalam fiqh gadai (rahn) adalah prjanjian suatu barang sebagai tanggungan hutang, atau menjadikan suatu benda bernilai menutrut pandangan syara sebagai tanggungan pinjaman, sehingga dengan adanya tanggungan utang ini seluruh atau sebagian utang dapat diterima.[15]
  1. Pegadaian Konvensional
Pegadaian Konvensional (Umum) adalah suatu  hak yang diperbolehkan seseorang yang mempunyai pitutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelematankanya setelah barang itu digadaikan.[16]
2.      Persamaan Gadai Konvensional dengan Gadai Syariah
            Persamaan gadai konvensional dengan gadai syariah adalah seperti berikut:
  1. Hak gadai berlaku atas pinjaman uang;
  2. Adanya agunan (barang jaminan) sebagai jaminan utang;
  3. Barang yang digadaikan di tanggung pemberi gadai;
  4. Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis , barang yang di gadaikan bole di jual atau di lelang
3.      Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensiaonal
            Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensional adalah sebagai berikut:
  1. Gadai syariah dilakukan secara suka rela tanpa mecari keuntungan, seadangakn gadai konvensional dilakukan dengan prinsip tolong- menolong tetapi juga menarik keuntungan.
  2. Hak gadai syariah berlaku pada seluruh harta (beda bergerak dan benda tidak bergerak)
  3. Gadai syariah dilaksanakan melakukan suatu lembaga, sedangkan gadai konvensional dilaksanakan melalui suatu lembaga (perum pegadaian)[17]
H.                Perlakuan Bunga dan Riba dalam Perjanjian Gadai
Aktivitas perjanjian gadai yang selama ini telah berlaku, yang pada dasranya adalah perjanjian utang-piutang, dimungkinkan terjadi riba yang dilarang oleh syara’. Riba terjadi apabila dalam perjanjian gadai ditemukan bahwa harus memberikan tambahan sejumlah uang atau prosentase tertentu dari pokok utang, pada waktu membayar utang atau pada waktu lain yang telah ditentukan oleh murtahin ( مرتحن ). Hal ini lebih sering disebut bunga gadai dan perbuatan yang dilarang syara’. Karena itu aktivitas perjajian gadai dalam Islam tidak membenarkan adanya praktik pemungutan bunga karena larangan syara’, dan pihak yang terbebani, yaitu pihak penggadai akan merasa dianiaya dan tertekan, karena selain harus mengembalikan utangnya, dia juga masih berkewajiban untuk membayar bunganya.[18]
Kondisi saat ini, gadai sudah menjadi lembaga keuangan formal yang telah diakui oleh pemerintah. Mengenai fungsi dari penggadaian tersebut tentu sudah bersifat komersil. Artinya pegadaian harus memperoleh pendapatan guna menggantikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan, sehingga pegadaian mewajibkan menambahkan sejumlah uang tertentu kepada nasabah sebagai imbalan jasa.[19] Minimal biaya itu dapat menutupi biaya operasional gadai. Gadai yang ada saat ini, dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan dan mengarahkan kepada suatu persoalan riba, yang dilarang oleh syara’ menurut A.A. Basyir. [20]
Mengenai riba itu, Afzalurahman dalam Muhammad Skholikhul Hadi, memberikan pedoman bhwa yang dikatakan riba, di dalamnya terdapat tiga unsur berikut
1)      Kelebihan dari pokok pinjaman
2)      Kelebihan pembayaran itu sebagai imbalan tempo pembayaran;
3)      Sejumlah tambahan itu di syaratkan dalam transaksi [21]


III. PENUTUP

Kesimpulan
Rahn adalah “Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang”,
Rahn termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan qirad.
Dalam dasar hukum gadai, ada dalil-dalil yang melandasi di perbolehkannya gadai yang bersal dari Al-Qur’an dan hadis. 
Rukun gadai yaitu akad dan ijab Kabul, akid, barang yang di jadikan jaminan (borg). Syarat gadai Orangnya sudah dewasa, berpikiran sehat, barang yang akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad, barang yang dapat dijadikan jaminan.
Pengambilan manfaat pada barang-barang gadai seperti hewan dan kendaraan ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai seperti diatas punya kewajiban tambahan.
Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, barang yang digadaikan itu memiliki tiga syarat. Pertama, berupa hutang karena barang hutangan itu tidak dapat digadaikan. Kedua, menjadi tetap, karena sebelum tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika seseorang menerima gadai dengan imbalan sesuatu dengan yang dipinjamnya. Tetapi Malik membolehkan hal ini. Ketiga, barang yang digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran yang akan terjadi, baik wajib atau tidak seperti gadai dalam kitabah. Pendapat ini mirip dengan madzab Maliki.
Perbedaan rahn dengan gadai yaitu gadai syariah dilakukan secara suka rela tanpa mecari keuntungan, seadangakn gadai konvensional dilakukan dengan prinsip tolong- menolong tetapi juga menarik keuntungan. Dan persamaan rahn dengan gadai yaitu adanya agunan (barang jaminan) sebagai jaminan utang.


DAFTAR PUSTAKA

Hendi Suhendi Fiqih Muamalah, Cet.I, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.2005
Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia. Bandung. 2006
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah.Cet.I, Alfabeta. Bandung. 2011
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihaya al-Muqtashid, Dar al-Jiil. Birut. 1990
Ahmad Azhar Basyir, Riba,Utang-piutang dan Gadai,cet. Ke II, Al- Ma’arif. Bandung. 1983
Sulaiman Rasyid. Fiqh islam, Al-Tahiriyah. Jakarta. 1973







[1]Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah al-Majadallad al-Tsalis, (Kairo: Dar al-fath lil I’lam al-‘Arabi, 1990), h. 123
[2]Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar fiqh muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang 1984), h. 86-87 
[3]Sayyid Sabiq dalam fiqih al- sunnah, Op.Cit, h. 187
[4]Sulaiman Rasyid. Fiqh islam, (Jakarta: al-Tahiriyah, 1973), h. 295.
[5]Ahmad Azhar Basyir, Riba,Utang-piutang dan Gadai,cet. Ke II, (Bandung:Al- Ma’arif,1983), h. 50
[6]Syafei Rachmat,  Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 159-160.
[7]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 105.
[8] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2001), h. 139.
[9]Ibid,  h. 162
[10]Ibid,  h. 164
[11]Ibid, h.256
[12] al-kahlani,subul al-salam, h. 51
[13]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 108-109
[14]Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihaya al-Muqtashid, (Bairut: Dar al-Jiil, 1990), h. 204
[15]Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 78
[16]Ibid h. 78
[17]Ibid h. 78
[18]Muhammad Skholikhul Hadi, Pegadaian Syari’ah, Salemba Diniyah. 2003, h. 3
[19]Ibid h. 61
[20]A.A. Basyir. Op. cit, h. 55
[21]Muhammad Skholikhul Hadi, Op, cit, h. 64

1 komentar: