PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Muamalah merupakan bagian dari rukun islam yang
mengatur hubungan antara seseorang dan orang lain. Contoh hukum islam yang
termasuk muamalah salah satunya adalah ijarah (sewa-menyewa dan upah).Seiring
dengan perkembangan zaman, transaksi muamalah tidak terdapat miniatur dari
ulama klasik, transaksi tersebut merupakan terobosan baru dalam dunia
modern.Dalam hal ini kita harus cermat, apakah transaksi modern ini memiliki
pertentangan tidak dengan kaidah fiqih? Jika tidak, maka transaksi dapat
dikatakan mubah.Sebelum dijelaskan mengenai ijarah, terlebih dahulu akan
dikemukakan mengenai makna operasional ijarah itu sendiri. Idris Ahmad dalam
bukunya yang berjudul Fiqh Syafi’I, berpendapat bahwa ijarah berarti
upah-mengupah, hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat
upah-mengupah, mu’jir dan musta’jir, sedangkan Kamaluddin A.
Marzuki sebagai penerjemah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan
makna ijarah dengan sewa-menyewa.
Dari dua buku
tersebut ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa Arab ke dalam bahasa
Indonesia, antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasional, sewa
biasanya digunakan untuk benda, sedangkan upah digunkan untuk tenaga. Namun
dalam bahasa Arab ijarah adalah sewa dan upah. Sehingga ketika kita melihat
bagaimana aplikasi dari ijarah itu sendiri dilapangan, maka kita bisa mendapati
sebagai mana yang akan dibasas dalam makalah ini. Yangmana diharapkan dengan
hadirnya makalah ini dapat memberikan masukan ilmu pengetahuan kepad kaum
muslimin mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sewa-menyewa. Ijarah merupakan menjual manfaat yang dilakukan oleh
seseorang dengan orang lain dengan menggunakan ketentuan syari’at islam.
Kegiatan ijarah ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari baik
dilingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar kita. Oleh sebab itu kita harus
mengetahui apa pengertian dari ijarah yang sebenarnya, rukun dan syarat ijarah,
dasar hukum ijarah, manfaat ijarah dan lain sebagainya mengenai ijarah. Karena
begitu pentingnya masalah tersebut maka permasalahan ini akan dijelaskan dalam
pembahasan makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan Ijarah?
2.
Apayang
menjadi dasar hukum ijarah?
3.
Apa
saja yang menjadi Rukun dan syarat Ijarah?
4.
Apa
saja yang menjadi dasar hukum Ijarah?
5.
Bagaimana
Pandangan Ulama tentang ijarah ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
pengertian Ijarah
2.
Mengetahui
dasar-dasar hukum Ijarah
3.
Mengetahui
rukun dan syarat Ijarah
4.
Mengetahui
dasar-dasar hukum Ijarah
5.
Mengetahui
pandangan ulama tentang Ijarah
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ijarah
Menurut etimologi, ijarahadalah
بيع المنفعة(menjual manfaat).[1]Ijarah
merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan
manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan
lain-lain.[2]Demikian
pula artinya menurut terminologi syara’. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan
dikemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih:
1.
Ulama Hanafiyah:
عقد على المنافع بعوض
Artinya:
“Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
2.
Ulama Asy-Syafi’iyah:
عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذل
والاءباحة بعوض معلوم.
Artinya:
“Akad
atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta
menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
3.
Ulama Malikiyah dan Hanabilah:
تمليك منافع شىء مباحة مدة معلومة بعوض.
Artinya:
“Menjadikan
milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”
Ada yang menterjemahkan, ijarah
sebagai jual beli jasa (upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia,
ada pula yang menterjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang. Jadi ijarah dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu ijarah atas jasa dan ijarah atas benda.
Jumhur ulama fiqh berpendapat bahwa
ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan
bendanya.Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil
buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan
lain-lain, seb cab semua itu bukan manfaatnya, tetapi bendanya. Namun sebagian
ulama memperbolehkan mengambil upah mengajar Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan
yang bersangkutan dengan agama, sekedar untuk memenuhi kaperluan hidup, karena
mengajar itu telah memakai waktu yang seharusnya dapat mereka gunakan untuk
pekerjaan mereka yang lain.[3]
B.
Landasan Syara’
atau Dasar Hukum Ijarah
Hampir semua ulama fiqh sepakat
bahwa ijarah disyari’atkan dalam Islam.Namun ada sebagian yang tidak
menyepakati dengan alasan bahwa ijarah adalah jual-beli barang yang tidak dapat
dipegang (tidak ada).Sesuatu yang tidak ada tidak dapat dikategorikan jual
beli.
Dalam menjawab
pandangan ulama yang tidak menyepakati ijarah tersebut, Ibn Rusyd berpendapat
bahwa kemanfaatan walaupun tidak berbentuk, dapat dijadikan alat pembayaran
menurut kebiasan (adat). Dan mengenai hal ini dapat dikatakan bahwa meski tidak
terdapat manfaat pada saat terjadinya akad, tetapi pada dasarnya akan dapat
dipenuhi. Sedang dari manfaat-manfaat tersebut, hukum syara’ hanya
memperhatikan apa yang ada pada dasarnya yang akan dapat dipenuhi, atau adanya
keseimbangan antara dapat dipenuhi dan tidak dapat dipenuhi.[4]
Landasan ijarah
menurut jumhur ulama adalah sebagai berikut:
a.
Al-Qur’an
فان ارضعن لكم فاتوهن
اجورهن (الطلاق: 6)
Artinya:
Jika mereka
menyusukan (anak-anakmu)untukmu, maka
berikanlah mereka upahnya.” (QS. Ath-Thalaq: 6)
b.
As-Sunnah
اعطوا الاجير اجره قبل
ان يجف عرقه. (رواه ابن ماجه عن ابن عمر)
Artinya:
“Berikanlah
upah pekerja sebelum keringatnya kering.”(HR. Ibn Majah dari Ibn Umar)
c.
Ijma’
Umat Islam pada masa sahabat telah
berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.
C.
Rukun dan
Syarat Ijarah
Rukun-rukun dan
syarat-syarat ijarahadalah sebagai berikut.
1.
Mu’jir dan musta’jir, yaitu orang yang
melakukan akad sewa-menyewa atau upah-mengupah. Mu’jir adalah yang
memberikan upah dan yang menyewakan, musta’jir adalah orang yang
menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu, disyaratkan
pada mu’jir dan musta’jir adlah baligh, berakal, cakap melakukan tasharruf
(mengendalikan harta), dan saling
meridhai.
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
bathil, kecuali dengan perniagaan secara suka sama suka (Al-Nisa:29).
Bagi orang
berakad ijarah juga disyaratkan mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan
sempurnah sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.
2.
Shighat ijab Kabul antara mu’jir dan musta’jir ,
ijab Kabul sewa-menyewa dan upah-mengupah, ijab Kabul sewa-menyewa misalnya:
“Aku sewakan mobil ini kepadamu setiap hari Rp5.000,00”, maka musta’jir menjawab
“ Aku terima sewa mobil tersebut dengan harga demikian setiap hari”. Ijab Kabul
upah-mengupah misalnya seseorang berkata, “Kuserahkan kebun ini kepadamu untuk
dicangkuli dengan upah setiap hari Rp5.000,00”, kemudian musta’jir menjawab
“Aku akan kerjakan pekerjaan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapkan.”
3.
Ujrah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua
belah pihak, baik dalam sewa-menyewa maupun dalan upah-mengupah.
4.
Barang yang disewakan atau sesuatu yang
dikerjakan dalam upah-mengupah, disyaratkan pada barang yang disewakan dengan
beberapa syarat berikut ini.
a.
Hendaklah barang yang menjadi objek akad
sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat dimanfaatkan kegunaanya.
b.
Hendaklah benda yang menjadi objek sewa-menyewa
dan upah mengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut
kegunaannya (khusus dalam sewa-menyewa).
c.
Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara
yang mubah (boleh) menurut syara’ bukan hal yang dilarang (diharamkan)
d.
Benda yang disewakan disyaratkan kekal ‘ain
(zat)-Nya hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam akad.
D.
Sifat Ijarah
Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang sifat
ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak.Ulama Hanafiyah
berpendirian bahwa akad ijarah itu mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara
sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu pihak yang berakad, seperti salah
satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan bertindak hukum.Akan tetapi, jumhur
ulama mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat
atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan.[5]
Akibat perbedaan pendapat ini terlihat dalam kasus apabil;a salah seorang
meninggal dunia, maka akad ijarah batal, karena manfaat tidak boleh diwariskan.
Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa manfaat itu boleh diwariskan karena
termasuk harta (al-mal).Oleh sebab itu, kematian salah satu pihak yang berakad
tidak membatalakn akad ijarah.
E.
Hukum Ijarah
Hukum ijarah shahih adalah tetapnya kemanfaatan
bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud
‘alaih, sebab ijarah termasuk jual beli pertukaran, hanya saja dengan
kemanfaatan.
Adapun hukum ijarah rusak, menerut
ulama Hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang
menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu
akad.Ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat.Akan tetapi, jika
kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan
perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya.
Jafar dan ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah fasid sama dengan jual beli fasid, yakni
harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang sewaan.
F.
Macam-Macam
Ijarah
a.
Ijarah yang bersifat manfaat, umpamanya
adalah sewa-menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian, dan pehiasan. Apabila
manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk dipergunakan, maka
para ulama sepakat menyatakan boleh dijadikan objek sewa-menyewa, jadi
penyewaan barang-barang tersebut tergantung pada kemanfaatannya.
b.
Ijarah yang bersifat pekerjaan (jasa) ialah dengan
cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Menurut para
ulama ijarah ini hukumnya boleh apabila pekerjaan itu jelas, seperti buruh
bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, tukang sepatu dan lain-lain.Ijarah ini
ada yang bersifat pribadi seperti menggaji pembantu rumah tangga, dan
ada yang bersifat serikat, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang
menjual jasanya untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, tukang
jahit dan lain-lain.Kedua bentuk ijarah ini menurut para ulama fiqh hukumnya
boleh.
G.
Perbedaan
Diantara Yang Akad
Seringkali terjadi perbedaan pendapat diantara
kedua pihak yang melakukan akad (sewa-menyewa) tentang jumlah upah yang harus
diterima atau diberikan padahal ijarah dikategorikan shahih, baik sebelum jasa
diberikan maupun sesudah jasa diberikan.
Apabila terjadi perbedaan sebelum
diterimanya jasa, keduanya harus bersumpah, sebagaimana disebutkan pada hadist
Rasulullah s.a.w.:
اذا اختلف المتبايعان تحالفا وترادا. (رواه اصحاب
السنن الاربعة واحمد والشافع)
Artinya:
“Jika
terjadi perbedaan di antar orang yang berjual beli, keduanya harus saling
bersumpah dan mengembalikan.” (HR. Ashab Sunan Al-Arba’ah, Ahmad, dan Imam
Syafi’I)
Hadist tersebut meskipun berkaitan
dengan jual-beli, juga relevan dengan ijarah.Dengan demikian, jika keduanya
bersumpah, ijarah menjadi batal.
H.
Berakhirnya
Akad ijarah
Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad
ijarah akan berakhir apabila:
a.
Tenggang waktu yang disepakati dalam akad
ijarah telah berakhir.
b.
Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya seorang yang
berakad, karena kad ijarah, menurut mereka, tidak boleh diwariskan. Sedangkan
menurut jumhur ulama, akad ijarahtidak batal dengan wafatnya salah seorang
berakad, karena manfaat, menurut mereka, boleh diwariskan dan ijaraha sama
denganjual beli, yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.
c.
Objek hilang atau musnah, seperti rumah
terbakar.
d.
Menurut ulama Hanafiyah, apabila ada uzur dari
salah satu pihak, seperti rumah yang disewakan disita negara karena terkait utang
yang banyak, maka akad iajarah batal. Uzur-uzur yang dapat membatalkan
akad ijarah itu, menurut ulama Hanafiyah
adalah salah satu pihak jatuh muflis, dan berpindah tempatnya penyewa,
misalnya, seorang digaji untuk menggali sumur disuatu desa, sebelum sumur itu
selesai, penduduk desa itu pindah kedesa lain. Akan tetapi, menurut jumhur
ulama, uzur yamng boleh mebatalkan akad ijarah itu hanyalah apabila objeknya
mengandung cacat atau manfaatnya yang dituju dalam akad itu hilang, seperti
kebakaran dan dilandabanjir.
I.
Pengertian upah secara klasik dan kontenporer
a.
Secara kontemporer
Menurut Dewan
Penelitian Perupahan Nasional, upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan
dari pemberi kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah
dan akan dilakukan, berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup yang layak
bagi kemanusiaan dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang
ditetapkan menurut suatu persetujuan, undang-undang dan peraturan dan
dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi dan penerima kerja.
b.
Secara klasik
Hadits
Rasulullah saw tentang upah yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah
s.a.w bersabda :
“ Mereka (para
budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah
asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus
diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian
seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan
tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu,
maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).
Dari hadits di
atas, maka dapat didefenisikan bahwa
Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk
imbalan materi di dunia (Adildan Layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di
akhirat (imbalan yang lebih baik).
Upah mengupah (ijaratu al-ajir) adalah memberikan
suatu jasa (berupa tenaga maupun keahlian) pada pihak tertentu dengan imbalan
sejumlah upah (ujrah).Upah mengupah disebut juga
dengan jual beli jasa. Misalnya ongkos kendaraan umum, upah proyek pembangunan,
dan lain-lain.
Pada dasanya pembayaran upah harus diberikan seketika juga, sebagaimana
jual beli yang pembayarannya waktu itu juga. Tetapi sewaktu perjanjian boleh
diadakan dengan mendahulukan upah atau mengakhirkan. Jadi pembayarannya sesuai
dengan perjanjiannya. Tetapi kalau ada perjanjian, harus segera diberikan
manakala pekerjaan sudah selesai. Nabi bersabda: "Upah harus diberikan
sebelum peluhnya kering."
Kematian orang yang mengupah atau diupah tidak membatalkan akad pengupahan.
Artinya, kalau orang yang mengupah mati, padahal permintaannya sudah dikerjakan
oleh orang yang diupah, keluarganya wajib memberikan upahnya. Tetapi kalau
orang yang diupahnya mati sebelum menerima upahnya, ahli warisnya menerima
upahnya. Tetapi kalau mati sebelum menyelesaikan pekerjaan, urusannya di tangan
Allah.
Dalam transaksi
ini, bentuk pekerjaan (al-‘amal dan al-juhd), lamanya pekerjaan (muddatu
al-‘amal) dan upah (ujrah) harus jelas.Rasullullah SAW berkata:”Apabila salah
seorang diantara kalian mempekerjakan seseorang, maka hendaknya memberitahukan
upahnya kepada orang itu”,Ketidakjelasan dalam ijarah hukumnya fasad.
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan
dan pemaparan ijarah diatas baik itu definisi, syarat dan rukun-rukunnya dapat
penulis simpulkan bahwa:
a.
Ijarah adalah salah satu bentuk kegiatan
muamalah dalam memenuhi keperluan manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau
menjual jasa perhotelan dan lain-lain dengan ada imbalannya atau upahnya.
b.
Dalam memaknai ijarah itu sendiri banyak
perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Namun intinya mereka
menyetujui adanya ijarah setelah memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan oleh masing-masing para ulama, sehingga meskipun terjadi perbedaan
didalamnya selalu ada pemecahan persoalan terhadap permasalahan-permasalan yang
timbul dikarenakan hal-hal yang terkait dengan ijarah itu sendiri.
B.
Kritik dan
saran
Penulis menyadari bahwa manusia adalah makhluk
yang tidak perna luput dari kesalahan, sehingga secara pribadi penulis sangat
megharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini agar nantinya dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca khususnya bagi
penulis sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Moh. Zuhri, Terjemah
Fiqh Empat Madzhab, Semarang: Asy-Syifa, 1993
Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Bandung: Sinar Baru Algensido,
1994
Ibnu Rusyd, Tarjamah
Bidayatu’l Mujtahid, Semarang: Asy-Syifa, 1990
Rachmat
Syafe’I, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2004
Nasrun Haroen, Fiqh
Muamalah, Jakarta: Gaya media Pratama, 2000
Suhendi, Hendi,
Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002
Karim, Helmi, Fiqh
Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997
[1]
Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, (Cet. II; Bandung: Pustaka Setia,
2004), h.121
[2]
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya media Pratama, 2000),
h.228
[3]Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), (Bandung: Sinar Baru Algensido,
1994), h.304
[4]
Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatu’l Mujtahid, (Semarang: Asy-Syifa, 1990),
h. 196
[5]Dr.
H. Hendi Suhendi, M.Si. Fiqhi Muamalah, cet. Jakarta : 2005 h. 117-118
[6]Moh.
Zuhri, Terjemah Fiqh Empat Madzhab, (Semarang: Asy-Syifa, 1993),
h.169-170
Tidak ada komentar:
Posting Komentar