Tugas Mandiri Dosen Pembimbing
Perbandingan Hukum
Perdata DRA. Jamiah Tompo M.H
KEWARISAN DALAM PERBANDINGAN HUKUM
PERDATA, HUKUM ADAT DAN HUKUM ISLAM
Disusun
Oleh :
USMAN PALA
STB.
051 2013 0004
JURUSAN SYARIAH HUKUM KELUARGA (AHWAL AL-SYAKHSIYYAH)
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hukum yang diterapkan Indonesia sangat beraneka ragam,
ada tiga hukum yang berjalan di Indonesia sendiri. Dikarenakan tiga sistem
hukum kewarisan yang berlaku dahulu sangat berpengaruh dalam pembentukan hukum
kewarisan sendiri yang dijalankan bengsa Indonesia sendiri. Ada tiga sistem
sendiri yaitu:
Sistem Hukum Kewarisam Perdata
Barat(Eropa), yang termaktub dalam Burgelijk Wetboek(BW). Biasa dikenal KUH
perd. Yang berdasarkan ketentuan pasal 131 I.S. Jo. Staatsblad 1917 nomor 12
tentang penundukan diri terhadap Hukum Eropa , Maka BW berlaku tidak secara
mutlak diterapkan diIndonesia dan berlaku bagi sebagian orang yaitu:
a. Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan
denagn orang Eropa.
b. Orang Timur Asing Tionghoaa
c. Orang Timur Asing lainnya dan orang-orang Indonesia
yang menundukkan diri kepada hukum Eropa.
Sistem Hukum Kewarisan Adat yang
beraneka ragam ini juga dipengaruhi banyaknya etnis,suku, ras yang ada
diIndonesia. Contohnya pembagian kewarisam sistem matrinial di Minang kabau,
patrinial di Batak, bilateral di Jawa, alteneren unilateral seperti di Rejang
Lebong atau Lampung Papadon, yang diperlakuakan kepada orang-orang Indonesia
yang masih erat hubungannya dengan masyarakat Hukum Adat yang belaku di
masyarakat setempat.
Sistem Hukum Kewarisam Islam, yang berpengaruh dari banyaknya orang yang menganut agama Islam namun sistemnya berlaku secara plurarisme. Yaitu dari Syiah, hazairin, yang paling dominan dianut di Indonesia ialah ajaran ahlus sunnah wal jamaah tapi paling dominan adalah madzhab dari Imam Syafi’i yang beriringan dengan ajaran Hazairin. Ajaran Hazairin mulai berpengaruh mulai tahun 1950. Di imdonesia sebaga suatu ijtihad untuk menguraikan hukum kewarisan hukum kewarisan yang ada di Al quran secara bilateral.
Sistem Hukum Kewarisam Islam, yang berpengaruh dari banyaknya orang yang menganut agama Islam namun sistemnya berlaku secara plurarisme. Yaitu dari Syiah, hazairin, yang paling dominan dianut di Indonesia ialah ajaran ahlus sunnah wal jamaah tapi paling dominan adalah madzhab dari Imam Syafi’i yang beriringan dengan ajaran Hazairin. Ajaran Hazairin mulai berpengaruh mulai tahun 1950. Di imdonesia sebaga suatu ijtihad untuk menguraikan hukum kewarisan hukum kewarisan yang ada di Al quran secara bilateral.
Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini
disamping hukum perkawinan, maka hukum kewarisan merupakan bagian dari Hukum
Kekeluargaan. Merupakan peran yang sangat penting dan juga ini menentukan
sepertia apa Hukum kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat tsb.
Hal inidisebabkan karena hukum kewarisan sangat erat
kaitanyya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Semua manusia akan melalui
segala peristiw penting yang terjadi dalam hidupnya begitu pula dengan
kematiana pasti semua orang akan melaluinya.
Bisa jadi ini akan menimbulkan peristiwa hukum yang
berkibat keluarga terdekat akan kehilangan orang yang dicintai dan hal ini akan
dapat meninggalka akibat hukum. Akibat hukumnya adala bagaimana cata
melanjutkan pengurusan hak-hak dan kewajiban orang sebagai akibat adanya
peristiwa hukum karena meninggalkan nya seseirang diatur oleh hukum Kewarisan.
B. Rumusan Masalah.
1)
Bagaimana Hukum Kewarisan dalam perspektif hukum
perdata..?
2)
Bagaimana sistem Hukum Kewarisan dalam Hukum adat..?
3)
Bagaiamankah hukum Kewarisan dalam pandangan hukum
Islam.?
BAB
II
PEMBAHASAN
I. Hukum Kewarisan dalam Perdata (BW)
1. Pengertian Kewarisan
Hukum waris
atau kewarisan adalah hukum harta kekayaan dalam lingkungan keluarga,
karena wafatnya seseorang maka akan ada pemindahan harta
kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi
orang-orang yang
memperolehnya,baik dalam hubungan antara mereka dengan
pihak ketiga.
Hukum kewarisan adalah himpunan aturan-aturan hukum
yang mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan
dari si meninggal dunia, bagaimana kedudukan ahli waris, berapa perolehan
masing-masing secara adil dan sempurna.
Wirdjono Projodikoro, mantan ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia, mengatakan bahwa “hukum waris adalah hukum –hukum atau
peraturan-peraturan yang mengatur, tentang apakah dan bagaimanakah berbagai
hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia
akan beralih kepada orang yang masih hidup”.
Pengertian waris timbul karena adanya kematian yang
terjadi pada anggota keluarga, misalnya ayah, ibu atau anak apabila orang yang
meninggal itu mempunyai harta kekayaan. Maka, yang menjadi persoalan
bukanlahperistiwa kematian itu, melainkan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh
orang yang meninggal.
Dengan demikian jelas, waris itu disatu sisi berakar
pada keluarga karena menyangkut siapa yang menjadi ahli waris dan berakar pada
harta kekayaan karena menyangkut waris atas harta yang ditinggalkan oleh
almarhum. Dalam pengertian waris, yaitu anggota keluarga yang meninggal dan
anggota yang ditinggalkannya atau yang diberi wasiat oleh almarhum. Peristiwa
kematian yang menjadi penyebab timbulnya pewaris kepada ahli waris. Obyek waris
adalah harta yang ditinggalkan oleh almarhum. Jika disimpulkan, maka Hukum
Waris adalah peristiwa hukum yang mengatur tentang beralihnya warisan dari
peristiwa karena kematian kepada ahli waris atau orang yang ditunjuk. Adapun ini adalah istilah-istilah yang dipergunakan
dalam kewarisan perdata:
Ø Pewaris: adalah orang yang meninggal dunia yang
meninggalkan harta kekayaan.
Ø Ahli waris: adalah anggota keluarga orang yang
meninggal dunia menggantikan
kedudukan pewaris dalam bidang hukum kekayaan karena
meninggalnya pewaris.
Ø Hukum waris: adalah hukum yang mengatur mengenai apa
yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia, mengatur
peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang ysng meninggal, serta
akibat-akibatnya bagi para ahli waris.
Ø Harta warisan: adalah kekayaan yang berupa keseluruhan
aktiva dan pasiva yang
ditinggalkan pewaris dan berpindah kepada ahli waris.
Keseluruhan kekayaan yang berupa aktiva dan pasiva yang menjadi milik bersama
ahli waris disebut boedel.
Dasar Hukum Waris
Adapun dasar hukum waris adalah sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 830 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”, pengertian yang dapat dipahami dari kalimat singkat tersebut adalah, bahwa jika seseorang meninggal dunia, maka seluruh hak dan kewajibannya beralih atau berpindah kepada ahli warisnya. Sehingga dalam hal ini pewarisan akan terjadi, bila terpenuhinya tiga persyaratan, yaitu
§ Ada
seseorang yang meninggal dunia.
§ Ada orang
yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat
pewaris meninggal dunia.
§ Ada
sejumlah harta kekayaan yang ditinggal pewaris.
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata telah menetapkan tertib keluarga yang berhak
menjadi ahli waris, yaitu suami atau isteri yang ditinggalkan dan keluarga sah
atau tidak sah dari pewaris, menurut Undang-Undang ada dua cara untuk
mendapatkan warisan, yaitu:
a. Sebagai
ahli waris menurut Undang-Undang (ab intestato).
b. Karena
ditunjuk dalam surat wasiat (testamentair).
Adapun
menurut yang lain, ahli waris dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
a. Golongan Pertama, yaitu sekalian anak beserta keturunannya dalam garis keturunannya lancang ke bawah.Dalam Pasal 852 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
a. Golongan Pertama, yaitu sekalian anak beserta keturunannya dalam garis keturunannya lancang ke bawah.Dalam Pasal 852 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
disebutkan:“Anak-anak
atau sekalian mereka biar dilahirkan dari lain-lain perkawinan sekalipun,
mewarisi dari kedua orang tua, kakek, nenek, atau semua keluarga sedarah antara
laki-laki ataupun perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran terlebih
dahulu, mereka mewarisi kepala demi mereka. Jika dengan si meninggal mereka
bertalian keluarga dalam derajat kesatu dan masing-masing mempunyai hak karena
diri sendiri, mereka mewarisi pancang demi pancang. Jika sekalian atau sekedar
sebagian mereka bertindak sebagai pengganti”.
b. Golongan
Kedua, yaitu orang tua dan saudara-saudara pewaris pada dasarnya bagi orang tua
disamakan dengan saudara-saudara pewaris tetapi ada jaminan dimana bagian orang
tua tidak boleh kurang dari ¼ (seperempat) harta peninggalan.
c. Golongan
Ketiga, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 853 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, yaitu:“Apabila si meninggal tidak meningglakan keturunan maupun
suami-isteri, maupun saudara-saudara, maka dengan tidak mengurangi ketentuan
dalam Pasal 859 warisannya harus dibagi dalam bagian yang sama, ialah satu
untuk bagian sekalian keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus ke atas dan
bagian untuk sekalian keluarga yang sama dalam garis seibu. Waris yang terdekat
derajat dalam garis lurus ke atas, mendapat setengah dari bagian dalam garis,
dengan mengesampingkan segala waris lainnya, semua keluarga dalam garis lurus
ke atas dalam derajat yang sama mendapat bagian mereka kepala demi kepala.”
Sedangkan
dalam Pasal 854 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan,
yaitu:“Apabila
seseorang meninggal dunia dengan tidak meninggalkan keturunan maupun
suami-isteri, sedang bapak ibunya masih hidup, maka dari mereka mendapatkan
sepertiga dari warisan jika si meninggal hanya meninggalkan seorang saudara
laki-laki ataupun perempuan yang mana mendapatkan sepertiga, selebihnya si
bapak dan si ibu masing-masing mendapatkan seperempat, jika si meninggalkan
lebih dari seorang saudara laki-laki ataupun perempuan, dua perempat bagian
selebihnya menjadi bagian saudara-saudara laki-laki ataupun perempuan”.
d. Golongan
Keempat meliputi anggota keluarga dalam garis ke sampaing dan sanak keluarga
lainnya sampai derajat keenam.
Ruang Lingkup Kewarisan Hukum Perdata
Dalam sistematika kitab Undang-Undang HukumPerdata (BW) hak dan kewajiban di bidang-bidang kekayaan adalah hak dan kewajiban yang diatur dalam buku ke II KUHPerdata tentang benda,dan buku ke III KUHPerdata tentang perikatan. Terhadap ketentuan tersebut di atas, ternyata ada juga hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan yang tidak beralih, misalnya:
ü Hubungan kerja atau hak dan kewajiban dalam bidang hukum kekayaan yang sifatnya sangat pribadi, mengandung prestasi yang kaitannya sangat pribadi, mengandung prestasi yang kaitannya sangat erat dengan pewaris. Contoh: hubungan kerja pelukis, pematung, sebagaimana diatur dalam pasal 1601 dan pasal 1318 KUHPerdata.
ü
Keanggotaan dalam perseorangan, sebagaimana diatur dalam pasal 1646 ayat (4)
KUHPerdata.
ü Pemberian
kuasa berakhir dengan meinggalnya orang yang memberi kuasa, diatur dalam pasal
1813 KUHPerdata.
ü Hak untuk
menikmati hasil orang tua/wali atas kekayaan anak yang dibawah kekuasaan
orangtua atau dibawah perwalian, berakhir dengan meninggalnya si anak, diatur
dalam pasal 314 KUHPerdata.
ü Hak pakai
hasil berakhir dengan meninggalnya orang yang memiliki hak tersebut, diatur
dalam pasal 807 KUHPerdata.
Sebaliknya
ada juga hak dan kewajiban di bidang hukum keluarga yang ternyata dapat
diwariskan, misalnya:
ü Hak suami
untuk menyangkal keabsahan anak, ternyata dapat dilanjutkan oleh para ahli
warisnya, sebagaimana diatur dalam pasal257 jo. Pasal 252jo. Pasal 259
KUHPerdata.
ü Hak untuk menuntut keabsahan anak dapat pula dilanjutkan oleh para ahli warisnya, kalau tuntutan tersebut sudah diajukan oleh anak yang menuntut keabsahan, yang sementara perkaranya berlangsung telah meninggal dunia. Hal-hal yang diatur dalam pasal 269, 270, dan pasal 271 KUHPerdata, secara garis besar menetapkan bahwa seorang anak dapat mewujudkan tuntutan agar ia oleh pengadilan dinyatakan sebagai anak sah.
ü Hak untuk menuntut keabsahan anak dapat pula dilanjutkan oleh para ahli warisnya, kalau tuntutan tersebut sudah diajukan oleh anak yang menuntut keabsahan, yang sementara perkaranya berlangsung telah meninggal dunia. Hal-hal yang diatur dalam pasal 269, 270, dan pasal 271 KUHPerdata, secara garis besar menetapkan bahwa seorang anak dapat mewujudkan tuntutan agar ia oleh pengadilan dinyatakan sebagai anak sah.
Tempat Pengaturan Hukum Waris dalam KUHPerdata
Hukum waris ditempatkan dalam buku II KUHPerdata (tentang benda), dengan alasan:
ü Hak mawaris
diidentikan dengan hak kebendaan sebagaimana diatur dalam pasal 528 KUHPerdata.
ü Hak waris
sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan, yang dirumuskan dalam
pasal 584 KUHPerdata.
Penempatan
hukum waris dalam buku II KUHPerdata tersebut di atas, menimbulkan reaksi
dikalangan para ahli hukum. Para ahli hukum berpendapat, bahwa dalam hukum
mawaris tidak hanya terdapat aspek hukum benda saja, tetapi terdapat juga
aspek-aspek yang lainnya, meskipun tiak dapat disangkal bahwa sebenarnya hukum
waris termasuk dalam hukum harta.
Aspek-aspek
hukum lainnya yang terkait adalah:
§ Aspek
hukum harta kekayaan, tentang perikatan harta peninggalan selain berupa hak hak
kebendaan yang nyata ada, dapat juga berupa tagihan-tagihan atau
piutang-piutang dan dapat dapat juga berupa sejumlah utang-utang yang
melibatkan pihak ketiga (hak perorangan).
§ Aspek
hukum keluarga, pada pewarisan menurut Undang-Undang syarat utama untuk tampil
sebagai ahli waris adalah adanya hubungandarah. Hal ini berarti terkait dengan
aspek hukum keluarga.
Berdasarkan
alasan tersebut di atas, para ahli hukum berpendapat, untuk menetapkan hukum
waris sebagai bagian yang terpisah atau buku tersendiri, tidak diatur dalam
hukum benda (buku IIKUHPerdata).
II .Hukum Kewarisan Adat
Pengertian
Hukum Waris Adat
· Pewarisan adalah istilah yang dipakai untuk menyatakan perbuatan meneruskan harta kekayaan yang akan ditinggalkan atau pembagian harta warisan kepada ahli warisnya oleh si pewaris.
· Di dalam
hal hukum adat waris, menurut Prof. Soepomo, hukum waris adalah
peraturan-peraturan yang mengatur proses penerusan serta mengoperkan
barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda
(immateriele geoderen) dari suatu generasi kepada keturunannya.
Dari
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum waris adat adalah hukum yang
mengatur peralihan (perpindahan) atau penerusan (pengoperan) harta warisan
material dan non material dengan segala akibatnya dari suatu generasi ke
generasi berikutya sebagai akibat dari meninggalnya si pewaris.
Sistem Pewarisan Dalam Masyarakat Adat
Sistem pewarisan menurut hukum adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh struktur kemasyarakatan setempat, sehingga terjadi perbedaan daerah satu dengan daerah lainnya. Di yaitu Indonesia dikenal 3 jenis organisasi kemasyarakatan pokok:
Ø Matrilineal yaitu masyarakat yang bertumpu kepada
hubungan darah melalui garis keturunan permepuan, sehingga yang berhak
melanjutkan garis generasi hanyalah anak perempuan, meskipun anak laki-laki
juga berhak mewarisi dari ibu kandungnya dan dari mamak melalui garis keturunan
perempuan. Daerah yang menggunakan sistem ini yaitu masyarakat suku Gayo, Alas,
Batak, Nias, Lampung Buru, Seram, Nusa Tenggara dan suku Irian.
Ø Patrilineal yaitu masyarakat yang bertumpu kepada
hubungan darah melalui garis keturunsn laki-laki, sehingga yang berhak
meneruskan garis keturunan hanyalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan
yang menikah direnggutkan dari kerabat patrilineal dan dimasukkan kedalam
kerabat patrilineal suaminya. Sistem ini digunakan di daerah masyarakat suku
Minangkabau, Enggono dan suku Timor.
Ø Parental atau Bilateral yaitu dasar dari masyarakat
yang menganut sistem ini adalah perjodohan (hubungan sah laki-laki dan
perempuan selaku suami isteri berdasarkan nikah), sehingga baik ayah maupun ibu
menjadi pewaris bagi anak kandungnya, baik yang laki-laki maupun perempuan
dengan bagian yang asasnya sama. Sistem ini dapat dilihat pada masyarakat Aceh,
Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lainnya.
Dan untuk pola pokok pembagiannya menurut hukum adat,
dibagi menjadi tiga sistem kewarisan diantaranya:
v Sistem Kewarisan Individual, adalah suatu sistem
kewarisan dimana harta peninggalan dapat dibagi-bagikan dan dimiliki secara
individual diantara para ahli waris. Sistem tersebut dianut masyarakat parental
di Jawa.
v Sistem Kewarisan Kolektif, adalah suatu sistem
kewarisan dimana harta peninggalan diwarisi oleh sekelompok ahli waris yang
merupakan persekutuan hak dimana harta itu merupakan pusaka yang tidak dapat
dibagi-bagikan kepada para waris untuk dimiliki secara individual. Contohnya
pada masyarakat matrilineal di Minangkabau, pada masyarakat parental di
Minahasa, dan terdapat pula pada masyarakat patrilineal di Ambon.
v Sistem Kewarisan Mayorat, adalah suatu sistem
kewarisan dimana anak tertua laki-laki, pada saat pewaris wafat berhak tunggal
untuk mewaris seluruh atau sejumlah harta pokok dari harta peninggalan.
Contohnya untuk laki-laki di Batak dan Bali, perempuan di Tanah Semendo Sumatra
Selatan dan suku Dayak di Kalimantan Barat.
Konsep Hukum Waris Adat
Walaupun hukum waris adat berbeda-beda menurut daerah
hukum adat, namun pada dasarnya konsep pewarisan menurut hukum adat di setiap
daerah adalah sama, yaitu :
ü Harta peninggalan harus diutamakan guna menutupi
biaya pemakaman dan pemeliharaan jenazah.
ü Jika harta kekayaan tidak tercukupi, biaya-biaya tersebut
ditanggung ahli waris.
ü Utang pewaris dibebankan pada harta peninggalan.
ü Utang tidak diwarisi, tetapi dapat dianggap
kewajiban moral bagi ahli waris untuk melunasi, namun di Pulau Bali utang
pewaris diwariskan kepada ahli waris.
ü Harta warisan tidak merupakan kesatuan yang dalam
keseluruhannya beralih dari pewaris kepada ahli waris.
ü Tidak ada hak ahli waris untuk sewaktu-waktu
menuntut (meminta) pambagian
ü Tidak ada tenggang waktu untuk membagikan hasil
warisan, melainkan sesuai kesepakatan.
ü Pembagian warisan diberikan berangsung-angsur yaitu
anak-anak satu persatu mendapat bagian pada waktu mereka mendirikan rumah
tangga sendiri.
ü Semasa hidupnya, seorang pewaris dapat mengadakan
penetapan mengenai harta kekayaan dengan membuat surat wasiat yang menyebutkan
harta kekayaan kelak harus dibagikan antara para ahli waris, dan dilaksanakan pembagiannya
setelah meninggal.
ü Bilamana seorang ahli waris meninggal dunia sebelum
pewaris, tempatnya dapat diganti oleh anak-anaknya.
ü Anak angkat yang diangkat dengan resmi mendapat hak
waris, tetapi tidak sama seperti anak kandung.
Pewaris, Ahli Waris, dan Harta Warisan Menurut Hukum
Adat
Pewaris
Pewaris adalah orang yang meneruskan harta peninggalan ketika hidupnya kepada ahli waris atau orang yang setelah wafat meninggalkan harta peninggalan yang diteruskan atau dibagikan kepada ahli waris. Pewarisan ditentukan dari ada tidaknya harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris. Hukum adat, hukum Islam maupun hukum BW telah mengatur adanya pewarisan ini, sehingga secara otomatis jika ada seseorang meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan maka sudah ada peraturan yang mengatur pembagian harta warisan kepada para ahli warisnya. Namun demikian pewaris dapat juga mempunyai kehendak sendiri terhadap harta yang akan ditinggalkannya itu, yang disebut dengan wasiat.
Pewaris adalah orang yang meneruskan harta peninggalan ketika hidupnya kepada ahli waris atau orang yang setelah wafat meninggalkan harta peninggalan yang diteruskan atau dibagikan kepada ahli waris. Pewarisan ditentukan dari ada tidaknya harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris. Hukum adat, hukum Islam maupun hukum BW telah mengatur adanya pewarisan ini, sehingga secara otomatis jika ada seseorang meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan maka sudah ada peraturan yang mengatur pembagian harta warisan kepada para ahli warisnya. Namun demikian pewaris dapat juga mempunyai kehendak sendiri terhadap harta yang akan ditinggalkannya itu, yang disebut dengan wasiat.
Ahli Waris
Ahli waris adalah setiap orang yang mempunyai hak
untuk menerima harta warisan. Anak dari sepeninggal pewaris merupakan golongan
ahli waris yang utama, karena mereka pada hakekatnya merupakan satu-satunya
golongan ahli waris. Menurut hukum adat, hukum Islam maupun hukum BW, ahli
waris dapat ditentukan sesuai dengan urutannya yang terpenting,
yaitu:Janda—Duda—Anak Kandung—Anak Angkat—Orang Tua Kandung—Saudara
Kandung—Cucu.
Harta Warisan
Harta
warisan adalah wujud harta kekayaan yang ditinggalkan dan beralih kepada para
ahli waris. Harta waris dapat berupa barang tidak bergerak, barang bergerak,
dan barang pusaka. Barang tidak bergerak misalnya tanah, sawah, rumah, ladang
kebun, dan sebagainya. Barang bergerak berupa mobil, motor, sepeda, binatang
ternak, dan lain sebagainya. Barang pusaka adalah barang-barang yang tidak
bernilai ekonomis tinggi, namun sangat dihargai dan dirawat dengan baik dan
hati-hati, seperti keris, tombak, kitab kuno, dan lain-lain.
Jenis-Jenis Harta Warisan
ü Harta Asal
Harta asal
adalah semua harta kekayaan yang dimiliki dan dikuasai pewaris sejak semula,
berupa harta bawaan ataupun harta peninggalan yang dibawa kedalam perkawinan
yang diperoleh dari harta warisan orangtuanya, hasil kerja dan pemberian orang
lain yang memungkinkan bertambah selama masa perkawinan.Ditinjau dari asal
mulanya, harta asal dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu:
1)
Harta Bawaan
Harta Suami Harta bawaan dapat
dibedakan dalam harta pembujangan/penantian dan harta pembekalan. Harta
pembujangan adalah harta dalam perkawinan jujur yang menyerap sang isteri ke
dalam marga sang suami (petrilokal). Harta penantian berupa tanah, rumah
beserta alat perlengkapannya. Dalam keadaan demikian, harta penantian suami
merupakan harta pokok, sedangkan bawaan isteri menjadi harta tambahan yang
bersatu dengan harta pokok (dalam sistem pewarisan kolektif mayorat) atau tetap
terpisah dari harta pokok (dalam sistem pewarisan kolektif matrilineal).Harta
pembekalan adalah harta bawaan suami yang ikut menetap di pihak isteri dalam
perkawinan semenda (matrilineal). Bila terjadi perceraian harta bawaan mereka
kembali kepada pemilik/kerabat asalnya, kecuali dalam perkawinan “manggih kaya”
(Jawa Tengah, Jawa Timur) atau “nyalindung kagelung” (Jawa Barat), yang
berakibat bahwa semua harta berturut-turut dikuasai oleh suami (manggih kaya)
atau isteri (nyalindung kagelang).
Harta Bawaan Isteri, berupa:
a. Harta bawaan ke tempat suami karena
sistem perkawinan jujur.
b. Harta bawaan sebagai harta
penantian isteri berdasarkan ikatan perkawinan
semenda (matrilineal).
c. Harta bawaan pembekalan dalam
hubungan perkawinan bebas mandiri, terlepas
dari naungan bebas kerabat.
2)
Harta Peninggalan
Peninggalan Tak Terbagi:
a. Harta pusaka (Minagkabau)
b. Tanah buway, tanoh manyanak
(Lampung)
c. Tanah tembawang (Daya Benawas)
d. Tanah kalakeran (Minahasa)
e. Tanah dati (Ambon)
Harta kekayaan tersebut adalah harta
peninggalan turun temurun dan merupakan milik bersama sekerabat, di bawah
kekuasaan dan pengawasan tetua adat setempat. Harta tersebut biasa disebut
harta pusaka tinggi dan tidak terbagi kepemilikannya. Hanya hak pakainya saja
yang selanjutnya dapat diwariskan dari pewaris kepada ahli waris
tertentu.Biasanya harta tersebut tidak hanya pantang dibagi, tetapi juga tidak
boleh dijual lepas dan hanya dapat dijual gadai pada situasi-situasi tertentu
yang sangat mendesak.
· Peninggalan Terbagi
· Peninggalan Terbagi
Dalam perkembangannya harta pusaka
menjadi harta keluarga yang dikelola oleh ayah dan ibu, sebagai akibat
melemahnya ikatan kerabat maka lambat laun harta tersebut tidak hanya dapat
dibagi-bagi hak pakainya, tetapi juga hak miliknya sehingga berkembang menjadi
hak milik perorangan.
· Peninggalan Belum Terbagi
Harta peninggalan yang seharusnya
dapat diteruskan kepada para waris, namun ditangguhkan waktu pembagiannya,
karena berdasarkan berbagai pertimbangan:
a. Masih ada orang tua (ayah/ibu),
janda/duda si pewaris yang dapat mengelola harta warisan.
b. Harta peninggalannya terbatas
sedangkan ahli warisnya banyak. Misalnya harta peninggalannya hanya sebuah
rumah saja, sedangkan anak-anaknya sebelas anak.
c. Harta tersebut tertentu jenis dan
macamnya. Misalnya senjata pusaka harus diwariskan kepada anak laki-laki,
sedangkan ia masih kecil.
d. Pewaris tidak mempunyai
keturunan, jandanya masih dapat mempunyai anak dari perkawinan berikutnya
(misalnya si janda menikah dengan adik almarhum suaminya).
e. Para waris belum dewasa, belum
mampu mengelola harta warisannya, sehingga untuk sementara diurus oleh orangtua
(janda) atau saudara pewaris.
f. Belum ada waris pengganti, keturunannya
semuanya perempuan, sedangkan yang berhak memperoleh harta warisan hanyalah
anak laki-laki, jadi ditunggu sampai lahir cucu laki-laki dan mungkin anak
perempuan yang ditentukan untuk itu.
g. Ada pewaris yang belum hadir,
sehingga musyawarah belum dapat diselenggarakan, terlebih lagi bahwa dialah
yang berhak menentukan pembagiannya.
h. Utang piutang pewaris belum
diketahui dengan jelas.
ü Harta Pencarian
Harta pencarian adalah semua harta
yang diperoleh suami atau isteri atau keduanya secara bersamaan selama
perkawinan (gono-gini). Harta pencarian dibagi menjadi 3, yaitu:
1) Harta Bersama
Yaitu semua penghasilan suami isteri
selama masa perkawinan (selain harta asal/harta pemberian yang mengikuti harta
asal). Dalam masyarakat bersistem parental dengan perkawinan bebas
seharkat-sederajat, harta pencarian bersama itu (terlepas dari harta asal)
dapat dibagi, baik karena perceraian maupun sebab pewarisan.Di Jawa, gono-gini
adalah “karyane wong loro” yaitu hasil karya dua orang, dan karena itu juga
“duweke wong loro” yaitu milik dua orang serta merupakan harta tak terbagi bila
perjodohan berlangsung lestari. Sebaliknya jika perkawinan putus harta
gono-gini dibagi berdua antara sumi dan isteri.
2)Harta suami
Menurut adat Jawa harta suami adalah
harta yang dimiliki suami karena pencarian sendiri disebabkan adanya perkawinan
yang tidak sederajat. Dengan begitu suami berhak menentukan pewarisannya. Dan
jika ia tak punya keturunan, maka harta tersebut kembali ke kerabatnya beserta
dengan harta asal. Namun jika ia mempunyai keturunan maka harta tersebut
semuanya jatuh kepada keturunannya itu.
3)Harta Isteri
Yaitu harta yang diperoleh karena
bekerja dan berusaha mandiri. Isteri berhak melakukan apa saja dengan harta
tersebut tanpa persetujuan suami. Jika perkawinan putus, maka harta isteri
beserta harta bawaannya menjadi harta asal yang dapat diwariskan kepada anak
kandungnya, baik yang sah maupun di luar nikah.
ü Harta Pemberian (Hibah Wasiat)
Hukum adat tidak menentukan apakah
hibah wasiat itu bersifat terbuka, atau rahasia, atau harus ditulis sendiri.
Namun menurut adat di beberapa daerah, cukup diikrarkan dihadapan isteri,
anak-anak atau warga kerabat dekat lainnya. Untuk lebih jelasnya akan dibahas
dalam sub bab wasiat.
v Warisan yang Berupa Hak dan
Kewajiban
Harta warisan tidak hanya berupa
harta benda saja, bisa berupa hak dan kewajiban.
1)Hak Pakai
Di daerah tertentu, pewarisan hak pakai berlaku atas harta pusaka tinggi
atau harta pusaka rendah yang tak terbagi. Mungkin juga yang menyangkut harta
warisan yang seharusnya dibagi, tetapi karena pertimbangan tertentu masih
dibiarkan dalam keadaan utuh. Cantoh:
a. Di Minang atas harta pusaka (ganggam bauntuah)
b. Di wilayah Semenda, Sumatera Selatan terdapat harta yang dikuasai tunggu
tubang (wanita tertua)
c. Di Lampung atas rumah kerabat atau alat-alat perlengkapan adat yang
dikuasai anak tertentu (anak penyimbang, pemuka adat)
2) Hak Tagihan
Pewaris yang meninggal mungkin meninggalkan hutang usaha dalam jumlah besar
kepada perorangan, organisasi atau instansi. Sebaliknya mungkin juga almarhum
mempunyai simpanan di Bank, piutang pada orang lain yang seharusnya diterima
oleh para ahli warisnya.
Pembagian
Harta Warisan Menurut Hukum Adat
Waktu Pembagian
Di kebanyakan masyarakat, pembagian warisan yaitu pada waktu nyeribu hari atau hari ulang tahun wafatnya pewaris dan para ahli waris diharapkan berkumpul di tempat almarhum pewaris.
Ø Juru bagi
(yang membagikan), antara lain:
§ Orang tua
yang masih hidup (janda/duda pewaris).
§ Anak
tertua lelaki atau perempuan.
§ Anggota
keluarga tertua yang dipandang jujur, adil dan bijaksana.
§ Anggota
kerabat tetangga, pemuka masyarakat adat, ditunjuk atau dipilih oleh para waris
untuk bertindak sebagai juru bagi.
Cara Pembagian dan Besarnya Bagian yang Diterima
Menurut hukum adat, terutama adat jawa terdapat dua cara, yaitu (1) dengan cara segendong sepikul, artinya bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan, (2) dengan cara dundum kupat, artinya bagian anak laki-laki dan bagian anak perempuan sama.
a. Bagian yang diterima oleh isteri/janda
ü Hak janda atas gono-gini, menurut hukum adat yang
berlaku di Jawa Tengah, seorang janda mendapat separoh dari harta gono-gini.
ü Hak janda atas barang-barang gono-gini, selama
seorang janda belum kawin lagi, barang-barang gono-gini yang dipegang olehnya
tidak dapat dibagi-bagi, guna menjamin hidupnya.
ü Hak janda atas barang-barang gono-gini sampai ia
meninggal atau sampai ia kawin lagi.
b. Bagian yang diterima oleh suami/duda, pada dasarnya
hak duda sama dengan hak janda.
c. Bagian yang diterima oleh anak kandung
Menurut hukum adat di Jawa Tengah, seorang janda berhak
membagi-bagikan harta warisan antara anak, asalkan setiap anak memperoleh
bagian yang pantas. Kadang ada juga kebiasaan bahwa anak laki-laki mendapat
bagian tanah-tanah usaha (sawah, ladang atau kebun), sedangkan anak perempuan
mendapat tanah pekarangan dan rumah tinggal.Sedangkan menurut hukum adat di
Tulungagung, semua ahli waris mempunyai hak yang sama. Namun setelah masuknya
pengaruh islam, anak laki-laki mendapatkan dua bagian, anak perempuan
mendapatkan satu bagian.
d. Bagian yang diterima anak angkat
Menurut hukum adat di Jawa Tengah, anak angkat hanya
diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orangtua angkatnya. Terhadap barang
pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya.
III. Hukum Kewarisan dalam Islam
1.Pengertian Mewaris
Perkataan
mewaris di dalam bahasa Arab berasal dari kata “warisa-yarisu-irsan-wamiirasan.
Menurut lughot, arti kata mewaris adalah perpindahan sesuatu dari seseorang
kepada orang lain atau dari satu golongan kepada golongan yang lain. Pengertian
ini mempunyai cakupan yang lebih luas, karena tidak hanya menyangkut harta
benda saja, melainkan juga mengenai ilmu atau kemuliaan. Termasuk dalam
pengertian ini adalah sabda Rasulullah saw:
العلماءورثةالأنبياء
“Ulama’ adalah pewaris para Nabi”
Hadits ini
mengisyaratkan bahwa Nabi mewariskan sesuatu kepada para ulama. Padahal Nabi
tidak pernah mewariskan harta ataupun uang, tetapi hanya mewariskan ilmu.
Dengan demikian, siapa pun yang mempelajari ilmu (agama), maka ia akan mewarisi
ilmu dari Nabi.
Menurut
Istilah, mewaris adalah perpindahan pemilikan dari orang yang meninggal dunia
kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik berupa uang, barang-barang
kebutuhan hidup atau hak-hak syar’iyah.
2.
Pengertian Peninggalan
Peninggalan
adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia, baik
berupa uang atau hak-hak materi lainnya. Menurut jumhur fuqaha (kesepakatan
ahli fiqh), semua yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia
tersebut “peninggalan”. Pengertian ini sudah mencakup semuanya, baik ia
mempunyai hutang piutang atau tidak. Sedangkan yang dimaksud dengan hutang piutang
adalah baik yang berupa uang ataupun bentuk lainnya (misalnya berupa tanggungan
dan lain-lain).
Hak-Hak yang
Berkaitan Dengan Peninggalan
Hak-hak yang
berkaitan dengan peninggalan dari orang yang meninggal dunia adalah sebagai
berikut:
1.Pengurusan Jenazah
Jenazah yang meninggal dunia itu wajib dirawat
seperlunya, dikafani dengan kain kafan yang sesuai dengan kondisi status sosial
ekonominya. Merawat jenazah merupakan suatu pekerjaan yang harus dilakukan
sejak seseorang meninggal dunia sampai saat pemakaman. Biaya yang dibutuhkan
untuk merawat jenazah terdiri dari biaya memandikan, mengkafani, menguburkan
dan biaya lainnya yng berkaitan dengan proses pemakamannya tersebut. Besarnya
biaya perawatan jenazah disesuaikan dengan kondisi orang yang bersangkutan,
baik kondisi sosial ekonominya maupun jenis kelamin jenazah.
2. Dibayarkan hutang-hutangnya
Sebelum harta peninggalan dibagikan kepada para ahli
waris, semua hutangnya harus dibayar (dilunasi) terlebih dahulu. Rasulullah saw
bersabda yang artinya: “Jiwa seorang mukmin tergantung kepada hutangnya,
Sampai dibayarkan”.Sedangkan hutang-hutang dari orang
yang meninggal dunia kepada Allah yang tidak dimintakan tanggung jawabnya
kepada manusia, seperti hutang mengeluarkan zakat, membayar kafarat, memenuhi
nadzar dan lain-lain tidak perlu dipenuhi menurut madzhab Abu Hanifah. Tetapi
menurut jumhur ulama hal tersebut wajib dipenuhi sebelum harta peninggalan
dibagikan kepada para ahli waris.
ü Dasar Hukum yang Melandasi Pendapat Abu Hanifah
Menurut Abu Hanifah, perbuatan mengeluarkan zakat,
membayar kafarat dan sebagainya, merupakan ibadah. Padahal ibadah menjadi gugur
jika seseorang meninggal dunia. Sebab untuk menunaikan ibadah, harus dilakukan
dengan niat dan usaha. Kedua hal itu tidak mungkin dikerjakan oleh orang yang
meninggal dunia.Meskipun kewajiban orang tersebut menjadi gugur setelah
meninggal dunia, namun ia tetap berdosa dan akan dimintai pertanggungjawabannya
di akherat kelak. Mengenai siksa yang akan ditanggungnya di akhirat, al itu
diserahkan sepenuhnya kepada Allah swt. Jika Allah menghendaki orang tersebut
mendapatkan siksa, maka ia pun akan disiksa. Tetapi jika Allah mengampuni
dengan kasih sayang-Nya, maka orang tersebut akan terbebas dari siksa.
Ketentuan ini tidak berlaku jika sebelum meninggal dunia, orang tersebut sudah
berwasiat agar semua kewajibannya dipenuhi oleh ahli warisnya. Dengan kondisi
seperti itu, maka semua kewajibannya harus dipenuhi dari harta peninggalannya
sebelum dibagikan kepada para ahli waris.
ü Dasar Pemikiran Jumhur Ulama
Jumhur ulama berpendapat bahwa semua hutang kepada
Allah wajib dipenuhi, seperti halnya hutang kepada manusia. Membayar hutang
kepada Allah tidak membutuhkan niat, sebab hal itu bukan merupakan ibadah
murni. Karena hutang kepada Allah itu ada kaitannya dengan uang, maka harus
dipenuhi meskipun orang yang meninggal dunia tidak pernah berwasiat kepada
keluarganya. Bahkan menurut Mazhab Syafi’i, hutang-hutang kepada Allah harus
dipenuhi terlebih dahulu sebelum hutang-hutang kepada manusia. Tetapi menurut Mazhab
Hambali, hutang kepada Allah dipenuhi sesudah memenuhi hutang kepada manusia.
3. Melaksanakan Wasiat
Wasiat dari orang yang meninggal dunia harus
dilaksanakan sepanjang tidak melebihi dari sepertiga bagian dari harta
peninggalan. Wasiat tidak ditujukan kepada para ahli waris dan tidak perlu
meminta persetujuan dari mereka. Pelaksanaan wasiat dilakukan setelah semua
proses perawatan terhadap jenazah orang yang meninggal dunia selesai sampai
dengan pemakamannya.Setelah semua hutang orang yang meninggal dunia dilunasi,
barulah wasiat dilaksanakan. Jika jumlah wasiat itu lebih dari sepertiga bagian
harta peninggalan, maka wasiat tersebut tidak dapat dilaksanakan, kecuali
mendapatkan persetujuan dari seluruh ahli waris. Ketentuan tersebut didasarkan
pada sabda rasulullah saw yang disampaikan kepada Saad bin Abi Waqqash yang
artinya: “sepertiga dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya jika engkau
meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, hal itu lebih baik daripada
engkau tinggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga mereka meminta-minta
kepada orang lain”. Ditegaskan pula oleh beliau dalam sabdanya yang lain yang
artinya: “sesungguhnya Allah memberi sadaqah kepadamu ketika kamu meninggal
dunia dengan sepertiga hartamu untuk menambah amal-amalmu”.
Setelah semua hutang dan wasiat dari orang yang
meninggal dunia diselesaikan, barulah harta peninggalan yang tersisa
dibagi-bagikan kepada ahli waris sesuai dengan ketentuan al-Qur’an, hadits dan
ijma’. Mula-mula harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris yang mempunyai
bagian tetap , kemudian kepada ahli waris yang ditentukan pembagiannya
berdasarkan kelebihan harta dan golongan ahli waris peringka selanjutnya.
Ø Hukum Wasiat
ü Wajib, bila wasiat itu sebagai pemenuhan hak-hak
Tuhan yang dilalaikan, seperti: pembayaran zakat, kafarat, nadzar, fidyah
puasa,haji,dll. Atau sebagai pemenuhan hak-hak sesama yang tidak diketahui selain
oleh si pewarisnya sendiri.
ü Sunnat, bila wasiat itu untuk orang yang tidak dapat
menerima pusaka atau untuk motif sosial, seperti berwasisat pada fakir miskin,
anak yatim, dsb, dengan tujuan bertaqqarub pada Allah dan menambah amal shaleh.
ü Haram, bila wasiat itu untuk tujuan maksiat seperti
mendirikan tempat berjudian, pelacuran.
ü Makruh, bila wasiat tersebut diwasiatkan kepada
orang fasik dan orang ahli maksiat yang dengan wasiat itu mereka menjadi tambah
fasik dan maksiat.
ü Mubah, bila wasiat tersebut di tujukan pada kerabat
atau tetangga yang penghidupan mereka sudah kekurangan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum yang diterapkan Indonesia
sangat beraneka ragam, ada tiga hukum yang berjalan di Indonesia sendiri.
Dikarenakan tiga sistem hukum kewarisan yang berlaku dahulu sangat berpengaruh
dalam pembentukan hukum kewarisan sendiri yang dijalankan bengsa Indonesia
sendiri.
Sistem Hukum Kewarisam Perdata
Barat(Eropa), yang termaktub dalam Burgelijk
Wetboek(BW).
Sistem Hukum Kewarisan Adat yang
beraneka ragam ini juga dipengaruhi banyaknya etnis,suku, ras yang ada
diIndonesia.
Sistem Hukum Kewarisam Islam, yang berpengaruh
dari banyaknya orang yang menganut agama Islam namun sistemnya berlaku secara
plurarisme. Yaitu dari Syiah, hazairin, yang paling dominan dianut di Indonesia
ialah ajaran ahlus sunnah wal jamaah tapi paling dominan adalah madzhab dari
Imam Syafi’i yang beriringan dengan ajaran Hazairin. Ajaran Hazairin mulai
berpengaruh mulai tahun 1950. Di imdonesia sebaga suatu ijtihad untuk
menguraikan hukum kewarisan hukum kewarisan yang ada di Al quran secara
bilateral.
Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini
disamping hukum perkawinan, maka hukum kewarisan merupakan bagian dari Hukum
Kekeluargaan. Merupakan peran yang sangat penting dan juga ini menentukan
sepertia apa Hukum kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat tsb.
Hal inidisebabkan karena hukum kewarisan sangat erat
kaitanyya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Semua manusia akan melalui
segala peristiw penting yang terjadi dalam hidupnya begitu pula dengan
kematiana pasti semua orang akan melaluinya.
Daftar Pustaka
Ahlan Sjarif,Surini,Intisari Hukum Waris menurut BW
(Burgerlijk Wetboek) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta Timur: Ghalia
Indonesia,1983.
Ali Ash-Shabuniy, Muhammad, Hukum Waris Islam,
Surabaya: Al-Iklas,1995.
Ali Ash-Shabuniy, Muhammad, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta: Gema Insani Press,cet. ke-2,1996.
Ali Ash-Shabuniy, Muhammad, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta: Gema Insani Press,cet. ke-2,1996.
Ali Ash-Shabuniy, Syaikh Muhammad, Hukum Waris, Solo:
Pustak
Mantiq,1994.
Apeldoorn, L.J. Van, Pengantar Ilmu Hukum, (terj.)
Oetarid Sadino, Jakarta: Pradnya Paramita,1993.
Azhar Basyir, Ahmad, Hukum Kewarisan Menurut Hukum
Adat dan Hukum Islam, Seminar Hukum Waris, Jakarta: Departemen Agama RI,1993.
Darmabrata, Wahyono, Asas-asas Hukum Waris Perdata,
Jakarta: cet. I,1994.
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana,2011.
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana,2011.
Kadir Muhammad, Abdul, Hukum Perdata Indonesia, Bandung:
Citra Aditya Bakti,1993.
Pudja, Gede, Hukum Kewarisan Hindu Yang Diresepir
Kedalam Hukum Adat Di Bali Dan Lombok, Jakarta: CV.Unesco,1977.
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung:
PT.Alma’arif,tth.
Ramulyo, M. Idris,Hukum Kewarisan Islam (studi kasus
perbandingan ajaran Syafi’i (patrilineal) Hazairin (bilateral) KUH Perdata (BW)
praktek di Pengadilan Agama/Negeri, Jakarta: Ind. Hilco,1987.